7 EMPTY CHAIR
Betis mulus seseorang keluar dari pintu sebuah mobil mewah berwarna hitam. Setelah sepasang sepatu haknya menyentuh tanah, barulah ia menampakkan visualnya di bawah sinar mentari yang terlihat agak temaram.
Seorang gadis berambut hitam ikal yang mengenakan setelan seragam Akademi Exousia—kemeja coklat muda berbahan rapilo dengan rok hitam selutut—berjalan menembus koridor sekaligus tatapan-tatapan tidak suka yang terhunus ke arahnya. Terkadang telinganya juga menangkap bisikan yang dengan sengaja diperkeras.
Kakinya menganyam langkah ke kantin indoor lantai satu dan mengambil duduk di meja paling pojok. Seperti biasa, bahkan setelah duduk pun, tak ada hentinya tatapan mereka mengganggunya. Tapi ia tidak peduli dan mencoba untuk tidak peduli. Toh, ini tidak ada pengaruhnya baginya. Hatinya lebih keras dari yang mereka kira. Kumpulan bola mata itu tak sanggup untuk menghancurkannya.
Ia mengambil ponsel dan menuliskan pesan kepada seseorang untuk memberitahukan keberadaannya. Semuanya baik-baik saja sampai tiba-tiba suara napas tertahan yang terjadi secara serempak mengalihkan perhatiannya.
Tujuh orang berseragam yang diakuinya sangat rupawan itu memasuki kantin dengan masing-masing karisma yang terpancar dari dalam diri mereka. Dan inilah dia, hal konyol yang menjadi penyebab dari suara tercekat yang barusan mengusiknya itu.
Gadis berwajah dingin itu memutar bola matanya dan membatin, 'apakah harus setiap hari seperti ini jika mereka muncul?'
Ketujuhnya menempati meja paling tengah, memberi akses bagi murid-murid di kantin ini untuk lebih leluasa mengagumi mereka. Terutama objek yang menempati ujung meja, laki-laki berambut coklat gelap hampir perunggu dengan wajah campuran antara Eropa dan Asia Timur Tengah. Alis dan bibir tebalnya itu seakan menjerat bola mata milik siapa pun yang menatapnya.
Tentu saja ia tahu siapa orang itu. Salah satu keturunan kerajaan yang bersekolah di akademi ini. Ia membenci mereka—para keturunan kerajaan itu. Hanya karena darah yang mengalir pada nadi seseorang bisa membuat mereka istimewa? Konyol.
Di ambang pintu masuk, seorang gadis berambut cokelat tebal mulai mengikis jarak ke tempatnya.
Senyumnya serta-merta mengembang ketika melihatnya. Mata hitamnya yang semula dingin mulai mencair. Ia mengangkat tangannya, melambai untuk menarik perhatian orang itu.
Melihat lambaian tangannya, gadis itu tersenyum simpul dan berjalan makin mendekat. "Hei Juni," sapanya.
"Lama tak bertemu, Rhea." Bibirnya menyeringai ketika ia menyambutnya.
Rhea mengambil duduk di seberangnya. "Ya, karena kau terlalu asyik berkencan dengan Kai, sampai-sampai lupa waktu," cibirnya. Walaupun suaranya terdengar lemah lembut, tetapi pastinya ia sedang menyindir.
Gadis itu, Juni, merona karena kata-kata Rhea yang tepat sasaran.
"Ngomong-ngomong, apakah Zeze sudah sampai?"
Mata Juni melirik ke pintu masuk sehingga Rhea mengikuti arah pandangnya dan menemukan orang yang barusan ia tanyakan.
Didampingi banyak pasang mata, Zeze berjalan dengan langkah mantap ke arah meja mereka berdua. Saat melewati meja ketujuh orang populer itu, mata birunya bertemu dengan mata hazel Sang Pangeran yang menatapnya dengan tenang. Namun seperti biasa, Zeze-lah yang pertama memutus kontak mata itu.
"Kalian lama sekali," ucapnya setelah mengambil duduk di samping Rhea.
Juni terkekeh. "Zeze sudah sampai dari sebulan yang lalu," jelasnya ke Rhea.
"Ini pertama kalinya aku satu misi dengan Kak Rhea," kata Zeze. Suaranya agak terdengar seperti gumaman karena ia sedang mengunyah permen karet.
"Memangnya kalian sudah pernah satu misi?" Tanya Rhea kepada dua orang ini.
"Pernah," Zeze mengangguk, "aku meminta Juni membantu kami."
"Oh, yang waktu itu. Aku kira kalian memang tidak sengaja bertemu dan datang bersama." Gadis berambut coklat itu menyikut Zeze, "rasanya seperti ada yang baru masuk sekolah."
Zeze terkekeh dan memeluk Rhea dari samping. Rhea pun ikut tertawa dan dengan lemah lembut mengusap punggung adik kesayangannya itu, karena Zeze memanglah yang paling muda di Énkavma.
Zeze memang paling dekat dengan Rhea. Walaupun Zeze dekat dengan semua kakak-kakaknya di Énkavma, tapi tidak sedekat dengan Rhea. Ia tidak pernah merasakan bagaimana kasih sayang seorang kakak perempuan. Memiliki Rhea adalah sebuah hadiah untuknya. Setelah Rhea bergabung 5 tahun yang lalu, warna baru datang ke dalam kehidupannya, sebab ini pertama kalinya ia mendapatkan teman perempuan yang umurnya tidak terlampau jauh darinya. Kebanyakan kakak-kakaknya telah memasuki kepala dua.
Bel masuk pun akhirnya menyudahi kebersamaan mereka. Mereka beranjak dan menaiki eskalator menuju kelas masing-masing. Setelah sampai di lantai 3, Rhea dan Juni berhenti naik sehingga membuat Zeze yang melihatnya lantas juga ikut berhenti.
Zeze menatap mereka dengan bingung. "Kenapa kalian berhenti di sini?" Alisnya bertaut ketika bertanya.
"Memang kelas kami di sini," jawab Juni. "Kami kan dua tahun lebih tua darimu."
Rhea tersenyum dan menjelaskan dengan lembut, "kami memasuki tahun keempat kali ini, Ze."
Zeze baru sadar kalau sistem akademi ini berbeda dari sekolah yang lain. Murid di sini akan memasuki sekolah tahun pertama pada usia 15 tahun. Dari tahun pertama hingga tahun kedua, mereka akan belajar pelajaran umum. Ketika sampai di tahun ketiga, mereka sudah mulai mengambil jurusan sesuai kemampuan dan minat masing-masing sampai tahun keenam.
Zeze merengut dan berbalik menunggang eskalator. Saat membelah lorong, Ia memasang headphone yang sejak tadi menggantung di lehernya, menghindari bisikan tak jelas yang pastinya diarahkan untuknya.
Dan akhirnya, di sinilah Zeze berlabuh, duduk dengan setia di kursi pojoknya, menunggu datangnya sang guru.
Alunan musik membawanya menyelami lirik dan juga nadanya sampai-sampai tidak menyadari sang guru telah hinggap di dalam kelas. Tapi guru itu tidak masuk sendiri, di belakangnya ada seorang siswa berkacamata yang berjalan sambil menunduk.
"Jika kau absen tanpa izin lagi, kau akan diberi skors, Mr. Leios," tegur sang guru tanpa menoleh ke belakang, atau lebih tepatnya, ia tidak ingin melihat siswa berkacamata itu.
Siswa berkacamata itu mengangguk patuh lalu berjalan ke arah bangkunya dengan wajah tertunduk dan tangan yang mencengkeram erat tali ransel.
Ia dapat merasakan celaan dan tatapan menghina yang serta-merta ditembakkan kepadanya.
Saat baru menganyam beberapa langkah, kakinya dicegat oleh kaki seseorang yang terulur ke samping sehingga membuatnya terjatuh dan mencium dinginnya lantai.
Gelak tawa seketika memenuhi ruangan. Sorak-sorakan yang berasal entah itu dari murid laki-laki maupun perempuan menggelegar menutupi lagunya, yang mana membuat Zeze melepas headphone-nya dengan risih.
Zeze mendongak dan mendapati seorang murid laki-laki sedang tengkurap di lantai, bergerak-gerak, berusaha untuk bangun. 'Mungkin orang itu terjatuh lalu ditertawakan,' pikirnya. Ia mengedikan bahu dan memilih tenggelam lagi di dalam lagu.
Laki-laki itu mencoba bangun dengan kedua telapak tangan yang menumpu tubuhnya, masih dengan sorakan yang menemani.
Penglihatannya tidak jelas seperti terbelah-belah. Sepertinya kacamatanya retak lagi. Ini sudah ke berapa kalinya sampai ia sendiri pun sudah bosan menghitung.
Guru itu juga terlihat tidak ada niat untuk menghentikan kegaduhan di kelasnya. Justru lebih terlihat tidak peduli.
Setelah laki-laki itu berdiri dengan kedua kakinya, mulailah ia melangkah ke arah mejanya, masih dengan kepala yang tertunduk.
Pemutar musik tengah mengalunkan lagu kesukaannya sehingga membuat kepala Zeze mengangguk-angguk pelan mengikuti irama. Sesekali matanya terbungkus, merasakan euforia.
Kursi di sebelah kanannya ditarik. Merasakan gesekannya, Zeze menghentikan anggukan kepalanya dan membuka mata. Perlahan tapi pasti, ia menoleh ke samping.
Waktu di sekitarnya terhenti. Tubuhnya kaku. Lidahnya kelu. Kupingnya tuli. Semuanya terasa lumpuh mendadak.
Hanya mata birunyalah yang masih tetap bekerja, menatap dia yang berdiri mematung di samping meja.
Dan dia pun juga sama menatapnya lewat kacamatanya yang retak. Tangannya masih memegang sandaran kursi yang semula dia tarik. Tiba-tiba dirinya kehilangan tujuan untuk menduduki kursi itu.
Seorang gadis berambut hitam ikal yang mengenakan setelan seragam Akademi Exousia—kemeja coklat muda berbahan rapilo dengan rok hitam selutut—berjalan menembus koridor sekaligus tatapan-tatapan tidak suka yang terhunus ke arahnya. Terkadang telinganya juga menangkap bisikan yang dengan sengaja diperkeras.
Kakinya menganyam langkah ke kantin indoor lantai satu dan mengambil duduk di meja paling pojok. Seperti biasa, bahkan setelah duduk pun, tak ada hentinya tatapan mereka mengganggunya. Tapi ia tidak peduli dan mencoba untuk tidak peduli. Toh, ini tidak ada pengaruhnya baginya. Hatinya lebih keras dari yang mereka kira. Kumpulan bola mata itu tak sanggup untuk menghancurkannya.
Ia mengambil ponsel dan menuliskan pesan kepada seseorang untuk memberitahukan keberadaannya. Semuanya baik-baik saja sampai tiba-tiba suara napas tertahan yang terjadi secara serempak mengalihkan perhatiannya.
Tujuh orang berseragam yang diakuinya sangat rupawan itu memasuki kantin dengan masing-masing karisma yang terpancar dari dalam diri mereka. Dan inilah dia, hal konyol yang menjadi penyebab dari suara tercekat yang barusan mengusiknya itu.
Gadis berwajah dingin itu memutar bola matanya dan membatin, 'apakah harus setiap hari seperti ini jika mereka muncul?'
Ketujuhnya menempati meja paling tengah, memberi akses bagi murid-murid di kantin ini untuk lebih leluasa mengagumi mereka. Terutama objek yang menempati ujung meja, laki-laki berambut coklat gelap hampir perunggu dengan wajah campuran antara Eropa dan Asia Timur Tengah. Alis dan bibir tebalnya itu seakan menjerat bola mata milik siapa pun yang menatapnya.
Tentu saja ia tahu siapa orang itu. Salah satu keturunan kerajaan yang bersekolah di akademi ini. Ia membenci mereka—para keturunan kerajaan itu. Hanya karena darah yang mengalir pada nadi seseorang bisa membuat mereka istimewa? Konyol.
Di ambang pintu masuk, seorang gadis berambut cokelat tebal mulai mengikis jarak ke tempatnya.
Senyumnya serta-merta mengembang ketika melihatnya. Mata hitamnya yang semula dingin mulai mencair. Ia mengangkat tangannya, melambai untuk menarik perhatian orang itu.
Melihat lambaian tangannya, gadis itu tersenyum simpul dan berjalan makin mendekat. "Hei Juni," sapanya.
"Lama tak bertemu, Rhea." Bibirnya menyeringai ketika ia menyambutnya.
Rhea mengambil duduk di seberangnya. "Ya, karena kau terlalu asyik berkencan dengan Kai, sampai-sampai lupa waktu," cibirnya. Walaupun suaranya terdengar lemah lembut, tetapi pastinya ia sedang menyindir.
Gadis itu, Juni, merona karena kata-kata Rhea yang tepat sasaran.
"Ngomong-ngomong, apakah Zeze sudah sampai?"
Mata Juni melirik ke pintu masuk sehingga Rhea mengikuti arah pandangnya dan menemukan orang yang barusan ia tanyakan.
Didampingi banyak pasang mata, Zeze berjalan dengan langkah mantap ke arah meja mereka berdua. Saat melewati meja ketujuh orang populer itu, mata birunya bertemu dengan mata hazel Sang Pangeran yang menatapnya dengan tenang. Namun seperti biasa, Zeze-lah yang pertama memutus kontak mata itu.
"Kalian lama sekali," ucapnya setelah mengambil duduk di samping Rhea.
Juni terkekeh. "Zeze sudah sampai dari sebulan yang lalu," jelasnya ke Rhea.
"Ini pertama kalinya aku satu misi dengan Kak Rhea," kata Zeze. Suaranya agak terdengar seperti gumaman karena ia sedang mengunyah permen karet.
"Memangnya kalian sudah pernah satu misi?" Tanya Rhea kepada dua orang ini.
"Pernah," Zeze mengangguk, "aku meminta Juni membantu kami."
"Oh, yang waktu itu. Aku kira kalian memang tidak sengaja bertemu dan datang bersama." Gadis berambut coklat itu menyikut Zeze, "rasanya seperti ada yang baru masuk sekolah."
Zeze terkekeh dan memeluk Rhea dari samping. Rhea pun ikut tertawa dan dengan lemah lembut mengusap punggung adik kesayangannya itu, karena Zeze memanglah yang paling muda di Énkavma.
Zeze memang paling dekat dengan Rhea. Walaupun Zeze dekat dengan semua kakak-kakaknya di Énkavma, tapi tidak sedekat dengan Rhea. Ia tidak pernah merasakan bagaimana kasih sayang seorang kakak perempuan. Memiliki Rhea adalah sebuah hadiah untuknya. Setelah Rhea bergabung 5 tahun yang lalu, warna baru datang ke dalam kehidupannya, sebab ini pertama kalinya ia mendapatkan teman perempuan yang umurnya tidak terlampau jauh darinya. Kebanyakan kakak-kakaknya telah memasuki kepala dua.
Bel masuk pun akhirnya menyudahi kebersamaan mereka. Mereka beranjak dan menaiki eskalator menuju kelas masing-masing. Setelah sampai di lantai 3, Rhea dan Juni berhenti naik sehingga membuat Zeze yang melihatnya lantas juga ikut berhenti.
Zeze menatap mereka dengan bingung. "Kenapa kalian berhenti di sini?" Alisnya bertaut ketika bertanya.
"Memang kelas kami di sini," jawab Juni. "Kami kan dua tahun lebih tua darimu."
Rhea tersenyum dan menjelaskan dengan lembut, "kami memasuki tahun keempat kali ini, Ze."
Zeze baru sadar kalau sistem akademi ini berbeda dari sekolah yang lain. Murid di sini akan memasuki sekolah tahun pertama pada usia 15 tahun. Dari tahun pertama hingga tahun kedua, mereka akan belajar pelajaran umum. Ketika sampai di tahun ketiga, mereka sudah mulai mengambil jurusan sesuai kemampuan dan minat masing-masing sampai tahun keenam.
Zeze merengut dan berbalik menunggang eskalator. Saat membelah lorong, Ia memasang headphone yang sejak tadi menggantung di lehernya, menghindari bisikan tak jelas yang pastinya diarahkan untuknya.
Dan akhirnya, di sinilah Zeze berlabuh, duduk dengan setia di kursi pojoknya, menunggu datangnya sang guru.
Alunan musik membawanya menyelami lirik dan juga nadanya sampai-sampai tidak menyadari sang guru telah hinggap di dalam kelas. Tapi guru itu tidak masuk sendiri, di belakangnya ada seorang siswa berkacamata yang berjalan sambil menunduk.
"Jika kau absen tanpa izin lagi, kau akan diberi skors, Mr. Leios," tegur sang guru tanpa menoleh ke belakang, atau lebih tepatnya, ia tidak ingin melihat siswa berkacamata itu.
Siswa berkacamata itu mengangguk patuh lalu berjalan ke arah bangkunya dengan wajah tertunduk dan tangan yang mencengkeram erat tali ransel.
Ia dapat merasakan celaan dan tatapan menghina yang serta-merta ditembakkan kepadanya.
Saat baru menganyam beberapa langkah, kakinya dicegat oleh kaki seseorang yang terulur ke samping sehingga membuatnya terjatuh dan mencium dinginnya lantai.
Gelak tawa seketika memenuhi ruangan. Sorak-sorakan yang berasal entah itu dari murid laki-laki maupun perempuan menggelegar menutupi lagunya, yang mana membuat Zeze melepas headphone-nya dengan risih.
Zeze mendongak dan mendapati seorang murid laki-laki sedang tengkurap di lantai, bergerak-gerak, berusaha untuk bangun. 'Mungkin orang itu terjatuh lalu ditertawakan,' pikirnya. Ia mengedikan bahu dan memilih tenggelam lagi di dalam lagu.
Laki-laki itu mencoba bangun dengan kedua telapak tangan yang menumpu tubuhnya, masih dengan sorakan yang menemani.
Penglihatannya tidak jelas seperti terbelah-belah. Sepertinya kacamatanya retak lagi. Ini sudah ke berapa kalinya sampai ia sendiri pun sudah bosan menghitung.
Guru itu juga terlihat tidak ada niat untuk menghentikan kegaduhan di kelasnya. Justru lebih terlihat tidak peduli.
Setelah laki-laki itu berdiri dengan kedua kakinya, mulailah ia melangkah ke arah mejanya, masih dengan kepala yang tertunduk.
Pemutar musik tengah mengalunkan lagu kesukaannya sehingga membuat kepala Zeze mengangguk-angguk pelan mengikuti irama. Sesekali matanya terbungkus, merasakan euforia.
Kursi di sebelah kanannya ditarik. Merasakan gesekannya, Zeze menghentikan anggukan kepalanya dan membuka mata. Perlahan tapi pasti, ia menoleh ke samping.
Waktu di sekitarnya terhenti. Tubuhnya kaku. Lidahnya kelu. Kupingnya tuli. Semuanya terasa lumpuh mendadak.
Hanya mata birunyalah yang masih tetap bekerja, menatap dia yang berdiri mematung di samping meja.
Dan dia pun juga sama menatapnya lewat kacamatanya yang retak. Tangannya masih memegang sandaran kursi yang semula dia tarik. Tiba-tiba dirinya kehilangan tujuan untuk menduduki kursi itu.