6 ACADEMY

"Kau tinggal menandatangani ini, ayolah!" Zeze terus berusaha menyodorkan map di atas meja makan panjang kepada seseorang pemuda berpakaian koki yang duduk di hadapannya.

Map itu didorongnya sampai menekan-nekan tangan orang itu yang terlipat di atas meja. Tapi dia terlihat tidak terganggu sama sekali. Dengan santainya, dia menyalakan rokok, mengabaikan Zeze yang sedang menatapnya dengan sorot memohon.

Koki itu mendengus. "Mengapa kau tidak memakai marga aslimu saja? Merepotkan saja. Kau dan aku hanya berbeda 9 tahun. Mana mungkin aku memiliki seorang anak?"

Alis Zeze bertaut. "Tapi kan tidak ada yang mengetahui tentang kau." Zeze kembali merengek, "ayo jadilah waliku. Aku sangat ingin pergi ke sekolah." Matanya berkaca-kaca ketika ia menatap Koki itu dengan sorot penuh harap.

"Aku dibayar di sini untuk menjadi Koki, bukannya wali gadungan." Koki itu menghembuskan asap rokoknya.

Zeze mengernyit, "tidak ada rokok di dalam, Dave."

Koki yang bernama Dave tersebut meliriknya sekilas lalu menekan puntung rokoknya ke asbak.

"Kumohon?" Zeze mencoba membuat suaranya selembut dan sehalus mungkin sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan wajah dengan sikap memohon.

Dave mendengus pasrah lalu meraih map di hadapannya dan mencernanya sepintas. Rasanya aneh memiliki anak perempuan yang sama sekali berbeda rupa dengannya. Sementara Zeze tersenyum lebar melihat Dave membuka map pendaftarannya.

"Mengapa kau tidak ingin memakai identitas aslimu?" Tanya Dave tanpa menatapnya.

"Sebenarnya ada yang ingin aku lakukan. Jika aku memakai identitas asliku, aku tidak akan bisa bebas," tuturnya.

Benar. Ada yang ingin ia lakukan dan juga perbaiki, atau lebih tepatnya, ada seseorang yang ingin ia temui.

Zeze merenung saat wajah orang itu melintas di otaknya. Ia bisa membuka jati diri aslinya di depan publik nanti. Teman satu timnya juga belum ada yang muncul. Mentang-mentang habis menyelesaikan misi, mereka asyik liburan berminggu-minggu.

Suara goresan pena membawanya keluar dari lamunan. Zeze bertepuk tangan ketika menyadari Dave menandatangani mapnya.

"Aku berhutang padamu Dave."

Dave bangkit dari duduknya. "Tentu saja. Aku minta gajiku ditambah, Yang Mulia."

Dave membungkuk dengan gerakan dilebih-lebihkan yang sukses membuat Zeze menggeleng jijik. Bukan karena alasan lain, karena di antara pelayan di istana ini, hanya Dave-lah yang akrab dan bersikap santai layaknya seorang kakak baginya.

Terkekeh puas dengan akting anehnya, Dave kemudian berlalu pergi. Zeze mengait map di seberang sana dan membacanya. Rozeale Finn. Yup, itulah nama barunya nanti.

========

Seorang siswi dengan hoodie hitam dan rok seragam selutut, melangkahkan kaki jenjangnya melewati gerbang Akademi Kemiliteran Negara, Exousia. Bangunannya membentuk huruf U dengan pancuran air terpajang di tengahnya. Tidak perlu ditanya lagi betapa besar dan luasnya bangunan itu. Di beberapa tempat, terpahat patung Ares, Sang Dewa Perang, sebagai rumah singgah para burung gereja.

Ia berjalan santai dengan kedua tangan tenggelam ke dalam saku hoodie-nya. Ia tidak mengenakan penutupnya sehingga menyebabkan bagian kepalanya terekspos, memajang wajah rupawannya yang mampu membuat langkah siapa saja terhenti.

Sembari memasang headphone, gadis berambut platinum itu membelah koridor lantai satu.

Orang-orang yang semula berlalu-lalang, kini secara estafet berbaris di kedua sisi koridor, membentuk jalan untuknya. Mulut dan mata mereka seakan kehilangan kemampuannya untuk bisa tertutup ketika dihadapkan dengan sebuah pahatan hidup yang luar biasa indah ini.

Siswi itu, yang siapa lagi kalau bukan Zeze, mulai menguak bungkus permen karet yang ia ambil dari dalam sakunya, mengabaikan semua tatapan memuja dan penasaran dari orang-orang yang dilaluinya. Jika headphone-nya dilepas, telinganya pasti telah diserbu bisikan-bisikan.

Saat berbelok ke kanan, matanya menangkap ketujuh orang yang tinggal satu atap dengannya itu. Mereka duduk di sebuah meja makan kantin outdoor. Tidak ada orang lain selain mereka dalam jarak 3 meter. Semuanya menyingkir, membiarkan mereka bersinar sebagai objek tatapan pemujaan.

Di beberapa titik, tersebar pengawal berkacamata dan berpakaian serba hitam yang menjulang tak jauh dari mereka. Dengan kemampuan pengamatannya, Zeze mampu mengetahui pasti jumlah dan tempat berdiri pengawal tersebut dalam sekali lirikan.

Hanya keenam dari mereka yang terkejut ketika mendapati sosoknya. Karena tentunya, Kion telah menduga hal ini, sehingga mata hazelnya hanya menyorot tenang visual tunangannya itu.

Saat matanya jatuh pada Airo, Zeze tersenyum sambil mengunyah permen karet, sebelum kemudian berbelok untuk menaiki eskalator.

"Apa? Dia..." Luna mulai membuka pertanyaan tapi Kion langsung memotongnya, "jangan ada yang berbicara dengannya."

Ucapan Kion tentu saja adalah titah bagi mereka, sehingga tidak ada yang bertanya lebih lanjut.

Zeze akan memasuki kelas tahun kedua, oleh karena itu kakinya mendarat di lantai 4. Suasana di sana sudah pasti sama saja dengan yang ada di bawah. Segenap pasang mata memandangnya asing sekaligus terpana.

Sebelumnya ia telah mempelajari denah gedung ini, jadi tidak begitu sulit untuk menemukan ruang kelasnya.

Berhenti di ambang pintu, Zeze memindai bangku kosong. Ia dapat merasakan banyak pasang mata yang menatapnya dari balik punggungnya.

Ketemu. Pojok, paling belakang, dekat jendela.

Zeze berjalan masuk. Dan beruntungnya, bangku di sebelahnya juga kosong. Ia pun menarik bangku yang merapat pada jendela kemudian duduk sembari memainkan ponselnya, mengabaikan tatapan orang-orang yang berada di dalam maupun di ambang pintu kelasnya.

Setelah beberapa menit berkutat di ponselnya, ia merasakan para siswa yang semula terpencar, mulai mengisi bangku mereka masing-masing. Tak lama setelahnya, masuklah seorang wanita berkemeja putih dipadu rok mini span berwarna hitam yang Zeze yakini adalah gurunya.

Setelah basa-basi pembuka, guru itu melesatkan matanya ke ujung sana. "Hari ini kita kedatangan murid baru." Ia memberi tanda agar Zeze maju ke depan.

Zeze mendengus pasrah, namun tetap menurutinya. Dan inilah saat yang dinanti-nantikan para penghuni kelas, atau mungkin satu sekolah.

"Ini adalah murid baru pertama kita. Namanya..." guru itu melirik Zeze. Apa salahnya jika guru itu mengucapkannya langsung?

"Rozeale Finn." Zeze dengan terpaksa tersenyum yang menyebabkan orang-orang di hadapannya serempak menahan napas. Mereka jelas sekali terpana. Bahkan suaranya saja merdu!

Zeze sangat tidak ahli dalam menghadapi hal semacam ini, tersiram oleh perhatian yang membludak. Hidupnya telah terbiasa dengan menyelinap dan mengendap-endap dalam gelap, tak terlihat dan diabaikan.

Walau ini bukan pertama kalinya ia mendapatkan perhatian banyak orang, tapi setiap kali mengalaminya, ia pasti akan gelisah hingga tanpa sadar menggigit bibir. Ia berharap semua ini cepat berakhir.

Dan beruntungnya, permohonan tak terucapnya itu terkabul. Guru tersebut akhirnya menyuruhnya duduk.

Bahkan saat ia telah menempel dengan bangkunya itu, masih saja ada yang terang-terangan menatapnya.

Untuk pertama kalinya, Zeze menyapukan pandangannya ke sekeliling. Dilihat dari penampilan mereka, jelas sekali kalau teman-teman sekelasnya ini bukan orang biasa.

Tentunya Zeze juga sudah mencari tahu tentang akademi ini sebelumnya. Exousia adalah akademi terbaik di Aplistia yang dikhususkan untuk anak keturunan kerajaan, bangsawan, dan pengusaha. Selain melatih otak, akademi ini juga melatih kemampuan beladiri dan bersenjata. Singkatnya seperti sekolah dengan sistem kemiliteran.

Zeze memilih untuk tidak mendengarkan penjelasan gurunya. Ia menopang dagunya dan beralih membuang pandangannya keluar jendela.

Setelah berkutat beberapa hari di dalam rumah dengan hanya bermain game ditemani Saga dan Airo, akhirnya ia bisa juga memasuki akademi ini.

Otaknya mulai berkelana. Apakah ia dapat bertemu dengannya hari ini? Atau sekedar melihatnya saja juga tidak apa.

Zeze tersenyum dengan mata terpejam. Itu benar, tidak perlu terburu-buru. Waktu berpihak padanya kali ini. Untuk saat ini, ia hanya akan menikmati masa remaja klasik yang orang-orang bilang adalah masa terindah dalam hidup.

Zeze terkekeh tanpa suara. 'Indah?' Ia membuka matanya.

'Tidak buruk.'

========

Masih tidak ada tanda-tanda Zeze akan menemukan apa yang dicarinya. Padahal telah lewat dua hari setiap jam istirahat ia berkeliling sekolah. Tentunya dengan ditemani tatapan yang terang-terangan tersorot ke arahnya. Karena itulah setiap bel istirahat berbunyi, ia langsung meninggalkan kelas dengan headphone yang menyumbat telinganya.

Zeze tidak berbicara kepada siapa pun selama di kelas, lebih tepatnya tidak ingin. Ia selalu menghindari interaksi dengan mereka. Bahkan ia memasuki kelas bertepatan dengan bunyi bel masuk, sehingga para murid perempuan mulai menganggapnya sombong.

Mereka mencibir ketika Zeze tidak ada di kelas. Bibir mereka terlihat sangat ahli membicarakan yang tidak-tidak tentangnya. Mereka juga bergosip tentang bagaimana Zeze menggoda murid laki-laki dan hal lainnya yang sama sekali tidak pernah ia lakukan.

Di kelas, Zeze lebih sering melamun sambil melihat ke luar jendela yang terbuka, menikmati pemandangan kebun bunga mawar yang berada tepat di bawahnya. Angin yang telah mulai mendingin menerpa wajahnya dan membuatnya terbuai.

Matanya terpejam, menikmati angin itu membelai setiap pori-pori wajahnya. Sampai tiba-tiba, suara wanita memanggil nama lengkapnya sehingga mengharuskannya untuk memutus kontak dengan sang angin.

Zeze menoleh ke depan, ke asal suara yang menyeru nama yang dibencinya. Dan ternyata guru itulah yang memanggilnya. "Bisakah Miss Finn menyelesaikan soal di papan tulis?" Tanyanya, yang lebih terdengar seperti menyuruh. Mungkin guru itu menangkap basah Zeze yang sedang memejamkan mata.

Habislah, ia sama sekali tidak pernah memperhatikan pelajaran apa pun di kelasnya. Bahkan dirinya tidak mempunyai petunjuk sama sekali tentang apa yang barusan guru itu ajarkan. Ia masih menopang dagunya dengan tangan selama beberapa detik sebelum memutuskan bangkit dari duduknya.

Ditemani banyak mata, Zeze berjalan ke depan. Saat berhenti di hadapan guru itu, ia bisa mendengar dua murid perempuan yang duduk paling depan saling terkikik.

'Ternyata dia,' pikir Zeze dengan sorot mata mendingin.

Guru itu memberikan kapur kepada Zeze lalu melipat tangannya di depan dada. Mata hitamnya yang tajam mengamati Zeze yang sedang melongo ketika berhadapan dengan papan tulis.

Tidak ada yang boleh tidur saat pelajarannya! Jika bukan karena Zeze adalah murid baru, sudah pasti ia akan memberinya detensi.

Di lain sisi, Zeze masih menatap tidak percaya angka-angka rumit di hadapannya ini. Yang benar saja? Apakah wanita itu bercanda? Ia disuruh menyelesaikan ini semua?

Setelah kurang lebih satu menit, akhirnya Zeze menyentuh bangkunya kembali. Ia menopang dagunya sembari melihat ke depan kelas, menikmati ekspresi sang ibu guru yang menganga ketika dihadapkan oleh papan tulis yang telah padat dengan angka-angka.

Mata hitam wanita tersebut bagaikan roller coaster yang bergerak naik-turun di sepanjang papan tulis. Setelah mencapai angka terakhir, matanya berpaling ke ujung sana, ke arah Zeze yang kini membuang muka ke arah jendela.

Sulit dipercaya. Soal yang tadi akan dikerjakannya telah terpecahkan dengan singkat. Ia tahu kalau Zeze tidak mendengarkan pengajarannya sama sekali, bahkan ia mendapati Zeze tengah memejamkan mata setelah diberitahu oleh siswi yang duduk paling depan, di saat dirinya tengah memunggungi seisi kelas untuk mengukir soal itu. Karena itulah ia berniat mengerjainya sebagai keringanan daripada memberikan detensi.

Di ujung sana, Zeze yang menyadari tatapan guru itu hanya bisa mendengus. Ia kaget di awal karena soal ini terlalu mudah baginya. Saat itulah Zeze menemukan petunjuk seperti apa pelajaran yang diberikan anak-anak seumurnya. Ternyata seperti ini. Ekspektasinya yang membuncah langsung luruh.

Guru itu sepertinya telah lanjut mengajar. Zeze menjulurkan leher, melihat murid yang duduk di depannya. Orang itu sedang menuliskan sesuatu di bukunya, yang Zeze yakini adalah jawaban contoh soal tadi.

Mata Zeze beralih ke buku di bawah sikunya. Kosong, belum ada coretan sama sekali. Ia mendengus dan meraih ballpoint. Baiklah, ia rasa sekarang sudah saatnya untuk mulai mengisi kertas putih itu dengan huruf-hurufnya.

Saat memasuki lembar kedua, punggung tangannya digigit sesuatu yang menyebabkan ballpoint itu meluncur dari jarinya.

Ternyata hanya semut merah. Zeze meniupnya lalu mencari ballpoint itu. Tapi ia tidak menemukannya di atas meja.

Kemudian Zeze mengecek ke bawah kursi di sampingnya. Ternyata ada di sana. Ia membungkuk dan meraihnya. Saat hendak menegakkan tubuh, tak sengaja matanya menangkap kolong meja di sebelahnya.

Terdapat tumpukan buku. Aneh, bukannya bangku di sebelahnya itu kosong? Zeze mengambil salah satu buku itu. Sampul depannya telah tertutup coretan dengan kata-kata makian.

Seperti menyuruh untuk mati, meninggalkan sekolah, kata-kata ancaman, bahkan kata-kata binatang.

Alisnya bertaut. Mungkin ini hanyalah buku bekas yang dibuang di meja pojok, meja terbuang. Bahkan ia baru menyadari bahwa kaca meja di sampingnya ini juga memajang kata-kata tidak senonoh yang dicoret-coret menggunakan spidol permanen.

Zeze memutuskan membenamkan kembali buku itu ke tempatnya semula dan lanjut menulis.
RECENTLY UPDATES