5 WHISPER

Di lain tempat, pagi yang cerah berawan kali ini tidak dapat dinikmati oleh 10 orang berseragam lengkap yang tengah duduk manis mendengarkan presentasi dari seseorang yang berdiri di samping layar LED besar sambil memegang sebuah remot.

"Rapat kali ini membahas tentang pembunuhan Walikota Madora. Beliau ditemukan dengan kedua kaki dan tangan hangus terbakar di kediamannya." Ia menampilkan foto mayat itu di layar.

Seseorang menambahkan, "di ruang kerjanya ditemukan uang berjumlah 1 triliun yang akan digunakan untuk perbaikan jalan."

"Jadi dia ini terbukti korupsi ya? Jika dilihat dari ciri-ciri mayatnya, tidak salah lagi Énkavma yang melakukannya."

"Menurut rumor yang beredar, orang-orang ini hanya mengincar pejabat yang merugikan rakyat. Bukankah itu bagus?"

"Apanya yang bagus? Itu kan hanya rumor. Jelas sekali kalau mereka ini hanyalah sekumpulan pemberontak. Jika pun memang benar, tapi tindakan seperti ini juga tidak bisa dianggap benar. Mereka tidak lebih dari sekelompok kecoak yang mencari keadilan dengan cara yang salah."

Di saat orang-orang sedang berdiskusi dengan serius di meja bundar ini, ada satu orang yang sama sekali tidak tertarik dengan bahasan ini. Dia hanya menumpu kepalanya dengan tangan sambil sesekali menguap bosan.

"Hei, Glen, apa kau mendengarkan?" Salah seorang dari mereka bertanya kepada orang yang tampak bosan ini.

"Iya, karena aku mempunyai telinga," jawabnya ringkas.

Mendengar jawabannya, ia hanya bisa mendesah dan memilih melanjutkan. "Pokoknya kita harus tetap waspada. Kita tidak boleh meremehkan lawan karena kita masih belum tahu semua kekuatan mereka."

"Selanjutnya adalah mengenai kekacauan di mansion tempat pertemuan para bangsawan. Tiga bangsawan dinyatakan tewas di tempat. Ini mungkin lebih sedikit daripada yang kita bayangkan, walaupun banyak rekan-rekan kita yang gugur, tapi setidaknya mereka dapat diingat sebagai pahlawan." Pemimpin rapat kali ini berbicara. Pria jangkung berambut pirang itu menampilkan kondisi mayat di layar, begitu mengerikannya sehingga beberapa orang di ruangan ini bergidik.

"Seperti yang kalian lihat, ketiganya mati dengan cara yang sama. Semuanya hangus terbakar kecuali bagian kemaluan. Dan testisnya telah dihancurkan."

"Tidak salah lagi, itu ulah dia," gumam seseorang.

Si Pemimpin rapat mengangguk, "Aphrodite."

========

Sejak kejadian waktu itu, telah lewat dua hari Zeze bermalam di tempat ini, Istana Timur Aplistia. Para anak dari keluarga bangsawan yang melayani Kion tidak ada satu pun yang berani menyinggung. Mereka dapat mengerti dari Kion yang terlihat tidak ingin membahasnya.

Zeze juga tidak ingin terlalu ambil pusing tentang hal ini dan lebih memilih memanjakan dirinya di istana. Jika lapar, makanan telah tersaji. Ingin mandi, air telah disiapkan. Ingin main game virtual, menggambar, bermain piano, semuanya hanya dengan jentikan jari.

Dan pakaian... ya, mereka telah menyiapkan pakaian yang Zeze sendiri akui bagus dan berkelas. Tapi apa daya, Zeze hanya memilih memakai kaus kasual lengan pendek dan celana selutut yang membuatnya nyaman seperti sekarang ini.

Para anak bangsawan itu juga tidak ada yang berani mengganggunya. Termasuk Luna, yang menurut Zeze terlihat murung sejak hari itu, dan ia juga tidak tahu mengapa. Zeze mengambil inisiatif sendiri dengan mendekam di sayap timur bangunan megah itu, bersebelahan dengan Kion dan para anak bangsawan lainnya yang mendiami bagian barat. Ia sama sekali tidak ingin diganggu terutama dengan pertanyaan.

Pelayan-pelayan juga terlihat akrab dengannya, kecuali pelayan baru yang masih diam-diam bergosip di belakang.

Sudah satu tahun lamanya ia tidak mengunjungi rumah besar bergaya Eropa ini. Biasanya di tahun-tahun sebelumnya, ia berkunjung hanya jika Kion dan antek-anteknya itu tidak ada, entah tengah liburan ke luar kota ataupun luar negeri.

Saat itulah dunia serasa milik sendiri. Namun kali ini, ia harus menjalankan kehidupan yang sama sekali dibencinya. Ia harus memetik takhtanya sebagai Tuan Putri Rozeale Ankhatia, tunangan dari Kion Ropalo Zesto, Pangeran dari Raja dan Ratu terakhir Aplistia. Dengan begitu, akan lebih mudah baginya mendapatkan informasi untuk bisa membakar para sampah merugikan itu.

Sebenarnya, Rajanya hanya menambahkan kata 'terserah' ketika setiap kali ditanya metode apa yang harus mereka gunakan. Ya, yang penting hasilnya. Ini berlaku juga untuk kehidupan. Tidak peduli usaha apa yang kau lakukan, orang-orang pasti hanya akan melihat hasil akhir dirimu. Jadi, hitung-hitung latihan.

Dengan berat hati, Zeze memutuskan mengambil jalan ini. Toh, jika telah usai, ia dapat pergi meninggalkan tempat menjijikkan ini.

Main aman saja. Zeze tidak ingin terlalu mengambil risiko lebih. Bahkan sejak diberikan misi, jantungnya tidak dapat berhenti berdegup kencang. Bukannya tidak senang, justru inilah yang paling dinanti setiap anggota Énkavma.

Tapi pikiran tentang bisa saja kehilangan salah satu temannya—keluarganya—saat misi berlangsung terus menghantuinya.

Maka dari itu, Zeze meminta kepada Rajanya untuk membentuk tim lain dengan dirinya. Tim yang berisikan para keturunan bangsawan kerajaan Aplistia. Hal ini berhasil sedikit memangkas stresnya. Rajanya sempat terkejut ketika Zeze sendiri yang menawarkan ide untuk mengambil takhtanya. Karena biasanya Zeze pasti akan selalu menghindar jika membahas tentang hal itu, meski telah bertahun-tahun lelaki itu mengusulkannya. Zeze masih ingat kilatan misterius di kedua mata lelaki itu ketika mendengar hal ini. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Bertanya pun percuma, karena dia itu pelit ketika berurusan dengan hal-hal yang berkaitan dengan rencana.

Tiba-tiba ponselnya berdering saat ia sedang tenggelam dalam lamunannya di sofa. Zeze mengangkatnya tanpa berniat mengalihkan pandangan dari TV menyala yang tergantung di dinding.

"Yo, bagaimana di sana?" Zeze mengenali suaranya, ini adalah suara Obi.

"Biasa saja," Zeze menjawab enteng. "Kapan kau akan datang?"

"Tidak sekarang, aku sedang liburan, jangan memaksa."

Zeze memutar bola matanya, "teman macam apa kau?"

Terdengar suara tawa di seberang sana. "Maaf, Ze."

Zeze menyibak poni yang menutupi matanya lalu beranjak dari sofa, melangkah menuju jendela besar. Ia masih asyik mengobrol dengan Obi sambil menyandarkan sebelah bahunya ke kaca jendela, mengagumi halaman luas yang melimpah oleh kebun bunga mawar.

Untuk seminggu ke depan, hari-harinya masih sama saja, monoton. Tidak ada yang bisa ia ajak bercanda di sini. Tidak ada Obi ataupun Zafth. Rasanya sepi dan hampa. Ia harus menelan perasaan itu mentah-mentah.

Sampai suatu hari, ketika sedang menyisir lantai dua, tak sengaja Zeze mendengar suara yang tidak salah lagi adalah milik karakter game. Ia meniti langkah ke asal suara dan menyorot sebuah pintu kecil yang menganga. Kala berpijak di ambang pintu, ia melihat dua set sofa putih membentuk huruf L dan layar kaca besar yang menampilkan pertarungan dua tokoh game fantasi. Ruangan ini cukup kecil dan memiliki bentuk segi empat. Ketika makin merapat, ia melihat seorang lelaki berambut pirang—yang ia yakini adalah salah satu antek-antek Kion—sedang bermain game di balik sofa.

Zeze mendekati lelaki berkaus biru yang sedang duduk membelakanginya itu. Untuk separuh waktu, ia hanya berdiri di belakangnya, mengamati jalannya permainan, sebelum kemudian beralih duduk dalam diam. Rupanya orang ini sangat berkonsentrasi hingga tidak menyadari keberadaannya.

Zeze mulai bersuara, "jarang sekali ada yang memilih karakter itu, kenapa kau memakainya?"

Laki-laki itu terperanjat lalu menoleh cepat ke belakang. Ia menatap Zeze sekilas dengan mata birunya yang dalam dan tenang lalu beralih lagi ke depan. Rupanya dia ini pandai dalam mengendalikan emosinya.

"Karena jarang yang memakai, hanya sedikit orang yang mengetahui kemampuannya, itu berarti peluang menang besar." Dan jawabannya pun masuk akal.

'Jawaban bagus,' batin Zeze. Ia pun tak dapat menyangkal pernyataan itu. Kalau diingat-ingat, dia ini adalah orang yang waktu itu menyuruhnya memperkenalkan diri.

Dengan setia, Zeze menunggu sampai pertandingan selesai yang diakhiri dengan kemenangan. Barulah setelahnya, ia meraih stik yang menganggur dan mulai memajukan duduk ke samping laki-laki itu.

"Berani taruhan?" Zeze menyeringai penuh arti ke arahnya.

Laki-laki itu senyap sesaat sebelum balas menyeringai dengan kedua alis terangkat. Mata birunya berkilat-kilat penuh percaya diri. Tentu saja berani, bagaimana mungkin dia bisa kalah? Lawannya hanyalah seorang Tuan Putri kecil.

Setelah 15 menit bermain, lelaki itu masih tidak dapat menutup mulutnya. Ia dikalahkan. Dan terlebih lagi hanya dalam waktu 15 menit! Barusan mungkin adalah pertarungan satu lawan satunya yang paling singkat.

"Hmm... kau lumayan juga, tapi masih kurang pengalaman." Zeze bergumam sembari mengotak-atik layar kaca di hadapannya dengan stik.

Apa? kurang pengalaman? Setelah semua pertandingan yang ia lalui?

Tiba-tiba sebuah suara dari kejauhan memanggilnya dengan nada protes, "Saga, mengapa kau tidak mengajakku?"

Pemilik suara itu berhenti di belakang sofa dengan mata melebar ketika mendapati Zeze duduk di samping orang yang tadi dipanggilnya.

Menoleh, Zeze menyeringai lalu melambaikan tangan ke arahnya, seperti memberi isyarat untuk bermain bertiga.

Mereka berdua belajar banyak dari Zeze. Mulai dari strategi saat terkepung dan teknik menggabungkan skill yang benar agar menghasilkan serangan efektif yang mematikan.

Setelah beberapa hari belakangan ini bermain bersama, Zeze tentunya juga telah mengenal kedua laki-laki ini.

Yang berambut pirang, Saga Láspi, putra kedua dari Marquess Láspi. Dan yang satu lagi, dengan rambut ikal berwarna emas, Airo Laktisma, putra ketiga dari Marquess Laktisma.

Zeze juga sudah dapat membaca sifat mereka berdua. Dirinya dan Airo sering kali mengejek satu sama lain saat salah satunya melakukan kesalahan. Sementara Saga hanya tertawa tanpa suara, memperhatikan pertengkaran kecil mereka. Tidak ada perlakuan formal kaku yang mereka tunjukan kepada Zeze. Dan itu justru membuatnya nyaman. Zeze juga mulai merasa bahwa kedua orang ini mampu melepas rasa bosannya selama di sini.

Suatu pagi, di saat sedang melewati ruang tamu lantai dua yang terletak di dekat tangga, Zeze melihat ketujuh remaja itu berkumpul di sofa sambil menikmati minuman mereka. Namun ada yang beda, mereka semua serempak berseragam lengkap dengan almamater. Mereka terlihat sangat menawan layaknya model atau patung yang biasa di pajang di mall.

Sambil menyedot es late yang dibelinya, Zeze berjalan mendekat. "Ingin pergi ke mana?" Tanyanya datar. Ia bertanya hanya karena seragam mereka menarik perhatiannya. Siapa tahu ia bisa mendapatkan informasi yang berguna.

"Sekolah tentu saja." Airo yang menjawabnya.

Kedua alis Zeze terangkat samar. Sekolah. Ia belum pernah merasakan itu, dan sama sekali tiada niat untuk merasakannya.

Zeze berpaling ke arah Kion yang sedang sibuk dengan bukunya. Lelaki itu duduk santai dengan siku bertumpu di atas lengan sofa berwarna putih.

"Sekolah macam apa?" Tanya Zeze kepadanya.

Kion tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat pandangannya sedikit tanpa melihat langsung ke arah Zeze yang berdiri tepat di samping kanannya.

"Bukannya kau tidak ingin berbicara padaku lagi?" Itulah pertanyaan yang tidak pernah Zeze sangka akan didengarnya.

Tentu saja Zeze bingung, lain yang ditanya, lain juga yang dijawab. Namun tiba-tiba, ingatan masa kecilnya menyeruak masuk ke otaknya tanpa permisi, menghantamnya pada perasaan malu dan kacau yang tak dapat dibendungnya.

Zeze menggaruk canggung tengkuknya dengan tangannya yang bebas. "Ya sudah jika Kakak tidak ingin diajak bicara, aku tidak akan bicara." Ia perlahan mundur hingga punggungnya menempel dinding.

Yang lain hanya saling bertukar pandang, bercampur aduk antara bingung dan terkejut. Ini pertama kalinya mereka melihat interaksi antara kedua orang ini setelah dua minggu terakhir.

Tanpa Zeze sadari, Kion terkekeh samar. Kemudian, dia beranjak dari duduknya. Melihat itu, yang lainnya langsung mengikuti. Jam telah menunjukkan pukul 7.45 pagi, sudah saatnya mereka berangkat.

Sementara Zeze masih bungkam, merapat pada dinding di belakang sofa sembari meminum late-nya. Mulutnya mengerucut dan pandangannya hanya terjatuh pada lantai bercorak daun, terlihat tidak ada niatan untuk mengangkat kepala ataupun beranjak.

Ketika Kion berjalan melewatinya, tidak salah lagi Zeze mendengarnya berbisik lirih, "dia juga ada di sana."

Mata Zeze melebar. Satu kalimat itu berhasil membuat kepalanya terangkat. Matanya mengikuti punggung tegap Kion yang menjauh dan menghilang di balik tangga.

Ia tahu siapa 'dia' yang lelaki itu maksud.
RECENTLY UPDATES