4 FIANCé

Bunyi alarm yang mengusik tidur terdengar nyaring mengisi ruangan megah berbentuk persegi panjang ini.

"Umm..." Chanara menggeliat dan mulai membuka matanya perlahan. Yang pertama kali menyambut penglihatannya adalah kaki sofa. Rupanya ia tertidur di bawah sofa.

Sambil mengerjap, ia terduduk di karpet. Kaus putihnya telah kusut, sama seperti rambutnya yang terlihat bagai singa. Kepalanya menoleh melihat sekitar dan berhenti di meja di samping kanannya. Tangannya lalu terulur dan menekan tombol jam di atas meja tersebut sehingga suaranya padam.

Selesai menguap sepuasnya, ia menoleh ke arah sofa di sebelah kirinya. Di sana terbaring seorang gadis berambut platinum yang berantakan menimbun wajahnya.

Tangannya mulai menggoyang-goyangkan bahu gadis itu. "Ze..." panggilnya.

Zeze menggeliat dalam tidurnya dengan sebelah mata yang perlahan terbuka, mencoba menyesuaikan cahaya yang menyilaukan dari lampu di atas kepalanya.

"Pukul berapa?" Tanya Zeze dengan suara serak khas bangun tidur.

Chanara kembali menguap. "Pukul 8," jawabnya.

Zeze pun duduk, pandangannya menyapu sekitar dengan hanya mata kanannya yang terbuka.

"Buka dulu matamu," tegur Chanara.

"Susah."

Setelah beberapa kali mengerjap, manik mata Zeze akhirnya telah bisa beradaptasi.

Dan inilah yang dilihatnya. Ruangan yang ditata sedemikian rupa menyerupai ruang tamu, lengkap dengan sofa, TV, meja, dan lainnya. Sofa tersebut berbentuk huruf U dengan meja di tengahnya. TV berukuran besar menggantung di dinding yang berhadapan dengan meja.

Menoleh ke sofa di seberangnya, Zeze melihat Mia sedang mengutak-atik ponselnya sambil sesekali menguap. Sementara di bawah kaki Mia terdapat Obi yang juga melakukan hal yang sama. Sofa yang berada di tengah diisi oleh Zafth dan Leah yang tengah mengumpulkan nyawa sehabis bangun tidur.

"Oh, semuanya sudah bangun?" Aurel menghampiri dengan tangan membawa nampan berisi air dan buah-buahan. Langsung saja mereka menyerbu bahkan sebelum nampan tersebut menyentuh meja.

"Seharusnya kalian cuci muka dulu," Aurel mencibir pelan. Gadis berkacamata dengan rambut hitam pendek itu mengambil duduk di samping kiri Zeze yang tengah menenggak air putih.

Leah mendengus keras, "semalam aku terlalu banyak minum sampai lupa apa yang terjadi. Aku tidak melakukan hal buruk kan?"

"Hampir," jawab Obi yang masih sibuk dengan ponselnya. Dilihat dari gerakan bahunya yang bergoyang ke kanan dan kiri, bisa ditebak jika ia sedang bermain game balapan.

Zafth menguap, "kau hampir menaiki meja saat sedang karaoke."

Leah mengangkat bahu, "tidak terlalu parah."

Mendengarnya, Zafth berdecak. Matanya yang sayu memandang tak percaya wanita berambut coklat madu di sampingnya ini.

"Tapi tadi malam seru sekali ya?" Kata Chanara antusias. "Sudah lama sekali semuanya tidak berkumpul. Umm, berapa lama ya?" Ia meletakan telunjuk di bibirnya sambil mendongak.

"Setahun," timpal Zafth dengan mulut penuh melon.

"Ah! Lama juga." Chanara mengangguk-angguk.

"Mau bagaimana lagi, kita kan memiliki kesibukan masing-masing." Mia yang masih belum lepas dengan ponselnya ikut masuk dalam percakapan. Satu tangannya mengutak-atik layar sementara tangan yang lain memegang melon.

Saat mobilnya siap memasuki garis finis, tiba-tiba ponsel Obi berdering, menampilkan sebuah panggilan dari kontak bernama Zarai. Obi mengumpat, tapi tetap mengangkat panggilannya. Setelah selesai mendengarkan Si Penelepon, ia menutup panggilan dan beralih menatap Zeze di seberangnya dengan dahi mengernyit.

"Ze," Obi mengangkat ponselnya dan menggoyang-goyangkannya ke arah Zeze di seberang sana.

Sejak tadi Zeze hanya diam memandangi air putih di tangannya dengan tatapan kosong. Setelah Obi memanggil namanya, barulah ia tersadar dari lamunannya dan beralih mengambil ponsel yang terselip di sofa. Ia pun membuka aplikasi Line dan menemukan 10.000 lebih pesan yang belum terbaca.

"Yang mana?" Tanya Zeze, mengernyit ketika melihat banyaknya pesan.

"Zarai."

Yang lain sedikit bereaksi ketika nama itu disebutkan. Air muka mereka berubah menjadi rumit, namun dengan cepat, mereka menormalkannya kembali.

Zeze menggulir layarnya ke atas dan melihat daftar nama Zarai di sana. Terdapat 10 panggilan tak terjawab dan 5 pesan tak terbaca.

Yang dapat menarik perhatiannya hanyalah pesan paling atas: [Raja memanggil]

Tanpa menunggu lama, ia bangkit ke kamar mandi. Tujuan utamanya adalah menghilangkan kerak yang selalu membuat matanya terbungkus kembali.

Setelah selesai, Zeze melangkahkan kakinya yang dilapisi jeans berwarna hitam menuruni tangga, menuju basement mansion dengan nuansa hitam-merah yang menjadi markas kebesaran Énkavma ini.

Ya, Énkavma. 'Mereka' adalah orang-orang yang telah lelah dengan dunia yang berantakan ini.

Hanya suara langkahnyalah yang menemaninya menyusuri tangga melingkar bergaya Eropa itu untuk memenuhi panggilan Rajanya, Raja Énkavma.

Dialah yang memimpin mereka. Menyatukan banyak kepala menjadi satu, banyak hati menjadi padu. Sampai terbentuklah solidaritas yang mengalahkan hubungan darah dan daging.

Tanpa sadar, di hadapannya telah terpampang pintu kembar dengan ukiran burung Phoenix yang mengobarkan sayap apinya. Didorongnya pintu itu dan cahaya langsung memeluknya setelah sebelumnya ia berlama-lama di dalam kegelapan, dengan hanya ditemani secercah api kecil yang ia nyalakan di ujung telunjuknya.

Pemandangan yang pertama menyambutnya adalah dua orang pemuda yang sedang bermain catur, duduk saling berhadapan di sofa berwarna merah marun. Ia mengenal pasti siapa mereka. Yang satu memiliki rambut berwarna coklat dengan rokok terjepit di mulutnya, dan lawannya yaitu seorang lelaki berambut emas yang terlihat nyentrik. Mereka mengenakan pakaian kasual yaitu kaus polos dan celana jeans. Dari penampilannya, kira-kira umur mereka di sekitar antara dua puluh sampai tiga puluhan.

Saat mendengar pintu terbuka, kedua orang tersebut mendaratkan pandangan mereka ke sumber suara.

"Oh, Zeze. Tidak biasanya kau kemari." Yang berambut emas menyambutnya.

"Aku dipanggil olehnya." Zeze menunjuk dengan dagunya ke arah seorang lelaki berambut hitam pekat yang duduk di sudut ruangan tak jauh dari kedua orang itu. Dia terlihat serius menyelami buku dengan punggung bersandar di sebuah sofa single.

Merasa terpanggil, lelaki berambut hitam itu mengangkat matanya dari buku.

Rajanya.

Dia menatap Zeze dengan mata hitamnya sebentar lalu menutup bukunya, yang tanpa Zeze sadari telah membuka awalnya yang baru.

========

Di bawah naungan langit cerah berawan, lima buah sedan hitam memasuki pekarangan sebuah mansion bercat putih. Di tengahnya terdapat kolam ikan berbentuk bundar dengan patung Cupid di sisinya yang menuangkan air dari guci, meluncur bagai air mancur dan mendarat di kolam, menemani ikan-ikan cantik yang menari di bawahnya.

Kelima sedan tersebut membentuk formasi dengan dua sedan masing-masing di depan dan belakang, mengelilingi satu sedan di tengah. Setelah dirasa cukup dekat dengan mansion mewah itu, sedan-sedan tersebut berhenti dan memuntahkan muatannya, sehingga sosok-sosoknya dapat tersinari cahaya mentari.

Tiga belas pria berjas dan berkacamata hitam keluar dari mobil dan membentuk barisan di kanan dan kiri, memberi jalan untuk tujuh orang berparas rupawan yang tadinya juga berada dalam sedan tersebut, empat orang laki-laki dan tiga orang perempuan.

Siapa pun dapat melihat dengan jelas siapa pemimpinnya, yaitu seorang laki-laki remaja berumur 18 tahun dengan rambut dan mata berwarna coklat gelap yang berjalan paling depan.

Tubuhnya tinggi tegap dan kakinya panjang. Dia mengenakan kemeja putih dengan balutan jas berwarna coklat gelap. Syal lembut berbulu membalut lehernya yang putih dan jenjang karena memang sebentar lagi akan memasuki musim dingin.

Tidak perlu ditanya lagi bagaimana rupanya. Kesempurnaannya terlihat tidak nyata, bagaikan seorang model yang keluar dari lukisan. Dia memiliki hidung ramping, alis tebal, dan bentuk rahang yang runcing sempurna. Wajahnya perpaduan antara Asia Timur Tengah dan Eropa.

Seorang gadis berambut pirang bergelombang berjalan mendahuluinya dan membukakannya pintu. "Pangeran Kion, makanannya telah siap," lapornya.

Laki-laki yang dipanggil Kion itu mengangguk. Mereka pun menuju ruang makan untuk menyantap hidangan makan siang yang telah tersedia hanya untuk mereka.

Mungkin itulah yang mereka pikir. Tapi kenyataan ternyata begitu rumit untuk pantas disandingkan dengan ekspektasi. Ketika mereka tiba di sebuah ruang makan bergaya Eropa, seseorang telah terlebih dulu menjajah makanan mewah yang tersaji di atas meja makan panjang itu.

Orang itu duduk di salah satu kursi dengan kaki yang terlipat. Rambut platinumnya dibiarkan mengalir sampai ke pinggang. Pakaiannya hanya sekedar jaket denim berwarna biru dengan kaus hitam polos berlengan pendek di dalamnya, dipadu dengan celana jeans yang digunting asal selutut. Tidak mencerminkan pakaian berkelas sama sekali.

Cara makannya sama sekali tidak memenuhi tata krama. Ia bahkan tidak segan untuk menyantap paha ayam dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk memegang sendok.

Tapi hal lainnya yang sanggup membuat mereka tertegun adalah paras orang itu. Mereka berani bersumpah belum pernah melihat manusia dengan pahatan secantik ini. Bahkan dia tidak terlihat seperti manusia, lebih seperti elf atau malaikat. Ya, malaikat! Apakah dia ini benar-benar nyata?

Yang pertama kali tersadar adalah si gadis berambut pirang. 'Bagaimana bisa orang ini masuk ke sini? Mengapa tidak ada satu maid pun yang melarangnya?'

"Apa-apaan ini? Sedang apa kau di sini? Siapa kau?" Suaranya melejit ketika dia bertanya.

Orang itu, Zeze, akhirnya mengalihkan pandangannya dari makanan dan menatap ketujuh orang itu.

Suasana kosong dan sunyi karena Zeze hanya menyelami sosok mereka satu per satu tanpa memberi sedikit pun jawaban. Sampai akhirnya, matanya berhenti tepat di manik mata berwarna coklat hazel milik Kion.

Cukup lama mata Zeze menguncinya  sebelum berpindah ke arah gadis pirang tersebut dan bertanya dengan suara yang cukup tenang.

"Kau sendiri siapa?"

'Apa!?'

Gadis pirang itu sudah tidak dapat menahan emosinya lagi. Dengan alis berkedut, ia berkata bangga bercampur sedikit bumbu kesombongan, "aku adalah Luna Vierhent, putri pertama dari Marquees Vierhent, salah satu bangsawan yang melayani Yang Mulia Pangeran Kion Ropalo Zesto. Kau ini siapa beraninya menapaki kaki kotormu itu di istana peninggalan keluarga kerajaan tanpa izin?"

Zeze bergeming tanpa menjawab. Matanya mendarat lagi ke arah Kion yang sejak tadi hanya memandanginya dalam diam.

Setelah beberapa saat saling tatap, Zeze beralih lagi ke Luna dan bertanya, "jadi kau ini pelayannya?" Suaranya begitu tenang seperti tak terpengaruh sedikit pun oleh atmosfer di sekitarnya.

Luna sama sekali tidak menyangka akan ditanya hal ini. Mengelak dan mengiyakan sama-sama tidak benar. Karena itulah ia terbata-bata berkata, "i... iya! Hei, kau ini belum menjawab pertanyaanku!"

Berdiri dari kursinya, Zeze meraih segelas air dan menenggaknya sampai tandas. Ia meletakkan gelas kosong itu di meja dan bertanya, "mengapa pelayan memakai gaun dan perhiasan?"

Bibir Luna menganga. Ia syok dan tentu saja tidak percaya akan apa yang baru saja didengarnya. Ia sudah bersiap mengambil napas penuh untuk meledakkan semua kekesalannya, namun suara tenang seseorang tiba-tiba mendahuluinya.

"Permisi, tapi bukankah kau harus menjelaskan siapa dirimu terlebih dahulu? Kau sudah sembarangan memasuki hunian orang lain tanpa izin. Bahkan jika kau telah mendapat izin, bukankah sebaiknya kau memperkenalkan dirimu kepada pemilik rumah ini?" Seorang laki-laki berambut pirang dan mata berwarna biru muda berhasil menghalau amarah Luna yang sedikit lagi akan meledak.

Zeze menilainya sebentar dengan mata yang agak meredup. Terlihat sekali kalau lelaki ini berkepala dingin dan berpikiran dewasa. "Hunian orang lain? Ini rumahku jika kau ingin tahu," balasnya kemudian.

Mereka terkejut bukan main akan pernyataan itu, kecuali Kion yang masih terlihat tenang sembari menyelami mata beriris biru langit yang sudah lama tidak dilihatnya itu. Namun sepertinya mata itu masih enggan untuk membalas tatapannya, karena sejak tadi dia selalu menghindar.

"A- apa? Orang ini gila. Hei, jangan asal bicara!" Sergah Luna, kalut.

"Siapa yang asal? Coba kau tanya..." Zeze melarikan pandangannya ke samping, ke arah seorang maid muda yang sejak tadi berdiri di dekat dinding. "Benar kan, Nana?"

Nana, maid berkacamata itu membungkukkan badannya lalu menjawab, "ya, Tuan Putri."

Detik itu juga, mereka merasa seperti dihantam lalu dihempaskan mendadak. Telinga mereka tiba-tiba terasa tuli, haus meminta pengulangan.

"Pangeran, apa maksudnya ini?" Seorang perempuan berambut coklat pendek di sebelah kanan Kion bertanya kepada Kion yang terlihat masih tetap anteng memanjakan matanya memandangi perempuan misterius itu.

"Rozeale," katanya, menyebutkan namanya. "Dia tidak diragukan lagi adalah keturunan keluarga kerajaan Aplistia." Kion berhenti sejenak ketika akhirnya mata Zeze kembali bertemu dengan matanya. "Dia adalah anak dari kakak perempuan Ibuku, Putri Vourtsa."

Mereka menahan napas saat Kion mengakhiri kalimatnya. Tapi ternyata tidak berujung sampai di sana kenyataan mengejutkan yang harus mereka dengar.

"Dia adalah tunanganku."
RECENTLY UPDATES