3 CRACKED MASK
Butuh waktu cukup lama untuk sepasang mata cokelatnya agar bisa terlepas dari sosok serba hitam yang menjulang di hadapannya itu. Mengabaikan rasa sakitnya, manik matanya mencoba mengecek kembali sang malaikat maut bertopeng.
Topeng yang menghiasi wajahnya kini patah sebagian, menampakkan wajah bagian bawahnya yang putih tanpa cacat. Dia pun tak lagi menggenggam pedang, karena bilahnya kini tenggelam dengan sempurna di salah satu batang pohon pinus yang menjulang tinggi di dekatnya.
"Kau tidak apa-apa, Hera?" Sosok serba hitam itu bertanya tanpa menoleh.
"Glen?" Mata cokelatnya kembali menatap punggung tegap itu.
"Maaf terlambat," balasnya.
Walaupun suaranya tenang, tapi Hera dapat mendengar dengan jelas embusan berat yang keluar dari dadanya. Seolah-olah terkandung beban yang tengah menjegal laju kerja pernapasannya itu. Dan Hera tidak pernah tahu bahwa beban itu adalah emosi yang meledak-ledak.
"Lama tidak bertemu. Kau banyak berubah." Pada akhirnya Zeze tak dapat menahan untuk tidak menyapa. Dengan sekuat tenaga, ia bendung suaranya agar tidak bergetar.
Glen memandangnya datar dengan matanya yang kelam tanpa cahaya, "apakah ada alasan khusus?"
Zeze tahu pasti maksud dari pertanyaan itu, karena itulah ia langsung menjawab.
"Alasan? Aku hanya ingin memperbaiki dunia yang berantakan ini."
Angin malam bertiup, membelai dedaunan dan helaian rambut mereka. Kerikil yang terlupakan pun ikut berjalan, tersapu olehnya. Cahaya sang dewi malam pun meredup tatkala awan gelap melintas di depannya.
"Begitu ya?" Glen tersenyum damai dengan kelopak yang membungkus mata kelamnya, "terang sekali. Saking terangnya, aku sampai harus 'berpaling'." Glen membuka matanya lalu bertanya lirih, "jadi itukah keputusanmu?"
"Ya, aku akan melakukannya dengan caraku. Kau pasti juga akan begitu kan?"
Detik kian berjalan, namun keheningan masih betah singgah untuk menghiasi suasana di antara dua insan yang saling berhadapan ini. Hanya terputar embusan angin sebagai musik yang melatari lingkaran kenangan di kepala mereka. Namun pasti, baik Glen maupun Zeze, mereka berdua meratapi takdir yang membungkus mereka.
"Baiklah, kita akan mengambil jalan masing-masing." Sorot mata Glen meruncing, "aku akan melepaskanmu kali ini. Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan membunuhmu."
"Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan menyelamatkanmu." Zeze tersenyum ringkas lalu menghilang, membaur dalam kegelapan.
Menyelamatkan? Dari apa?
Zeze sudah tidak membutuhkan topeng itu lagi. Ia berjalan menyusuri lorong gelap dengan mata terjatuh ke bawah, ke arah rerumputan liar yang berulang kali diinjaknya, atau bahkan mungkin ia tidak menyadari apa yang sedang ia injak. Wajahnya mendung, tatapannya kosong, sekosong hatinya. Namun apa daya, tak ada air mata yang dapat melumasi keringnya mata maupun hatinya.
Hingga akhirnya, seberkas cahaya menyilaukan berhasil membuatnya mengangkat pandangan. Telapak tangannya menghalau di depan wajah. Matanya pun menyipit ketika kilaunya menusuk-nusuk kegelapan yang selama ini bersemayam di dalamnya.
Setiap langkah yang ia ambil, setiap itu pula cahaya itu makin tersiar. Hingga akhirnya tumpas seketika tatkala ia telah meninggalkan kegelapan. Ia berhenti di ujung lorong ketika matanya menyorot sebuah pemandangan yang merupakan akar dari cahaya menyilaukan tadi.
Ia telah dinanti oleh tujuh orang yang sedang menduduki sebuah pohon besar yang terbaring di tanah. Semuanya adalah wajah-wajah yang amat sangat dikenalnya. Ada Obi, Juni, Zafth, Chanara, Leah, dan Aurel. Tak lupa juga Mia yang duduk bersandarkan kaki pohon dengan mata terpejam. Di hadapan mereka menyala kobaran api yang membakar tumpukan dahan.
Zeze mempercepat langkahnya "Oh, semua sudah berkumpul." Sepertinya reuni tadi membuang banyak waktunya.
"Ya, ayo kembali." Obi berdiri diikuti oleh keenamnya. Lelaki berhoodie hitam tersebut menumpas api unggun itu dengan satu siraman telak dari botol air mineral.
Mereka mulai berjalan berdampingan, membelah hutan yang menari bersama angin. Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi karena mereka sudah cukup jauh dari bangunan itu.
"Ngomong-ngomong bagaimana dengan Antoni?" Zeze menatap Leah di ujung matanya.
Leah sedikit memundurkan langkahnya agar bisa melihat Zeze. "Kuat sekali. Aku tidak dapat menanganinya. Lihat ini!" Perempuan berkemeja hitam itu menggulung lengan bajunya dan menunjuk luka-lukanya.
"Jadi aku meminta tolong Aurel membukan portal untuk kabur. Tapi tenang saja, kalian menahan mereka semua dengan sangat baik. Aku tidak bisa membayangkannya, bertarung satu lawan satu dengan Antoni saja sudah sangat mengerikan, apalagi jika dia dibantu oleh bawahannya," lanjutnya, bergidik ngeri.
"Sayang sekali, padahal aku ingin melihat pertarungan kalian," keluh Zeze.
"Yang penting kita sudah menangani target kita," timpal Juni dengan helaan napas berat. Sepertinya ada suatu hal yang membuat gadis itu kecewa.
"Benar." Zeze mengangguk dan tidak meminta lebih.
"Kalian akan melakukan apa setelah ini?" Aurel yang berjalan di tengah bertanya. Pakaiannya terlihat lebih bersih dan rapi dari temannya yang lain. Tak ditemukan titik darah atau debu di seratnya.
Obi melihat ke arah bintang-bintang, "aku akan pergi bertualang dengan Zeze sampai misi baru muncul." Jawabannya terdengar tidak yakin.
"Tapi bukankah Zeze sudah harus kembali ke Istana Timur Aplistia? Jika ia lama tidak ada kabar, pasti akan ada yang curiga." Kebingungan, Chanara memiringkan kepalanya.
"Berat sekali ya Tuan Putri Rozeale," goda Leah sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Zeze yang sama sekali tidak terlihat menanggapi.
"Aku dapat pesan, kelompok yang lain juga telah menyelesaikan misi mereka dan bersiap kembali ke markas," tutur Zafth sambil memainkan ponselnya.
Chanara menyeringai, "sepertinya akan ada makan besar malam ini."
"Berarti aku tidak jadi mentraktir kalian." Zeze terkekeh.
Obi merangkul Zeze yang berjalan di samping kanannya, "kali ini kau lolos, Ze."
Markas mereka kali ini dipadati oleh sekiranya 25 orang. Jejeran hidangan menghiasi meja panjang di tengah-tengah kerumunan itu. Sofa-sofa aneka warna diasingkan ke dinding, sementara mereka semua berdiri. Suara obrolan dan musik Jazz yang mengalun menumpas keheningan. Baru saja mereka melangkahkan kaki ke dalam setelah perjalanan panjang di dalam pesawat, kata-kata penuh keakraban langsung memeluk mereka.
"Kalian lama sekali!"
"Karena semuanya telah berkumpul, ayo kita makan!"
"Bersulang untuk kemenangan!"
Zeze menyapukan pandangannya mengelilingi kawan-kawannya—keluarganya—satu per satu. Detik itu juga, sekelebat kenangan melintas di otaknya. Mereka telah melewati susah dan senangnya kehidupan.
Mereka tahu akan datang saatnya dimana mereka akan kehilangan satu sama lain. Namun meski begitu, mereka berpura-pura tak menyadarinya dan tetap tertawa layaknya tak ada hari esok.
Kebersamaan yang terlihat begitu hangat bagaikan api dalam diri mereka.
Dengan sorot mata menghangat, Zeze tersenyum. Namun ini bukanlah senyum dingin penuh intimidasi seperti yang biasa ia tunjukan. Kali ini hangat bagaikan sebuah rangkulan.
Mereka ini memang cahaya.
Cahaya yang sangat 'terang'.
Meskipun begitu, bagaimana mungkin matanya dapat 'berpaling' dari mereka?
Topeng yang menghiasi wajahnya kini patah sebagian, menampakkan wajah bagian bawahnya yang putih tanpa cacat. Dia pun tak lagi menggenggam pedang, karena bilahnya kini tenggelam dengan sempurna di salah satu batang pohon pinus yang menjulang tinggi di dekatnya.
"Kau tidak apa-apa, Hera?" Sosok serba hitam itu bertanya tanpa menoleh.
"Glen?" Mata cokelatnya kembali menatap punggung tegap itu.
"Maaf terlambat," balasnya.
Walaupun suaranya tenang, tapi Hera dapat mendengar dengan jelas embusan berat yang keluar dari dadanya. Seolah-olah terkandung beban yang tengah menjegal laju kerja pernapasannya itu. Dan Hera tidak pernah tahu bahwa beban itu adalah emosi yang meledak-ledak.
"Lama tidak bertemu. Kau banyak berubah." Pada akhirnya Zeze tak dapat menahan untuk tidak menyapa. Dengan sekuat tenaga, ia bendung suaranya agar tidak bergetar.
Glen memandangnya datar dengan matanya yang kelam tanpa cahaya, "apakah ada alasan khusus?"
Zeze tahu pasti maksud dari pertanyaan itu, karena itulah ia langsung menjawab.
"Alasan? Aku hanya ingin memperbaiki dunia yang berantakan ini."
Angin malam bertiup, membelai dedaunan dan helaian rambut mereka. Kerikil yang terlupakan pun ikut berjalan, tersapu olehnya. Cahaya sang dewi malam pun meredup tatkala awan gelap melintas di depannya.
"Begitu ya?" Glen tersenyum damai dengan kelopak yang membungkus mata kelamnya, "terang sekali. Saking terangnya, aku sampai harus 'berpaling'." Glen membuka matanya lalu bertanya lirih, "jadi itukah keputusanmu?"
"Ya, aku akan melakukannya dengan caraku. Kau pasti juga akan begitu kan?"
Detik kian berjalan, namun keheningan masih betah singgah untuk menghiasi suasana di antara dua insan yang saling berhadapan ini. Hanya terputar embusan angin sebagai musik yang melatari lingkaran kenangan di kepala mereka. Namun pasti, baik Glen maupun Zeze, mereka berdua meratapi takdir yang membungkus mereka.
"Baiklah, kita akan mengambil jalan masing-masing." Sorot mata Glen meruncing, "aku akan melepaskanmu kali ini. Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan membunuhmu."
"Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan menyelamatkanmu." Zeze tersenyum ringkas lalu menghilang, membaur dalam kegelapan.
Menyelamatkan? Dari apa?
Zeze sudah tidak membutuhkan topeng itu lagi. Ia berjalan menyusuri lorong gelap dengan mata terjatuh ke bawah, ke arah rerumputan liar yang berulang kali diinjaknya, atau bahkan mungkin ia tidak menyadari apa yang sedang ia injak. Wajahnya mendung, tatapannya kosong, sekosong hatinya. Namun apa daya, tak ada air mata yang dapat melumasi keringnya mata maupun hatinya.
Hingga akhirnya, seberkas cahaya menyilaukan berhasil membuatnya mengangkat pandangan. Telapak tangannya menghalau di depan wajah. Matanya pun menyipit ketika kilaunya menusuk-nusuk kegelapan yang selama ini bersemayam di dalamnya.
Setiap langkah yang ia ambil, setiap itu pula cahaya itu makin tersiar. Hingga akhirnya tumpas seketika tatkala ia telah meninggalkan kegelapan. Ia berhenti di ujung lorong ketika matanya menyorot sebuah pemandangan yang merupakan akar dari cahaya menyilaukan tadi.
Ia telah dinanti oleh tujuh orang yang sedang menduduki sebuah pohon besar yang terbaring di tanah. Semuanya adalah wajah-wajah yang amat sangat dikenalnya. Ada Obi, Juni, Zafth, Chanara, Leah, dan Aurel. Tak lupa juga Mia yang duduk bersandarkan kaki pohon dengan mata terpejam. Di hadapan mereka menyala kobaran api yang membakar tumpukan dahan.
Zeze mempercepat langkahnya "Oh, semua sudah berkumpul." Sepertinya reuni tadi membuang banyak waktunya.
"Ya, ayo kembali." Obi berdiri diikuti oleh keenamnya. Lelaki berhoodie hitam tersebut menumpas api unggun itu dengan satu siraman telak dari botol air mineral.
Mereka mulai berjalan berdampingan, membelah hutan yang menari bersama angin. Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi karena mereka sudah cukup jauh dari bangunan itu.
"Ngomong-ngomong bagaimana dengan Antoni?" Zeze menatap Leah di ujung matanya.
Leah sedikit memundurkan langkahnya agar bisa melihat Zeze. "Kuat sekali. Aku tidak dapat menanganinya. Lihat ini!" Perempuan berkemeja hitam itu menggulung lengan bajunya dan menunjuk luka-lukanya.
"Jadi aku meminta tolong Aurel membukan portal untuk kabur. Tapi tenang saja, kalian menahan mereka semua dengan sangat baik. Aku tidak bisa membayangkannya, bertarung satu lawan satu dengan Antoni saja sudah sangat mengerikan, apalagi jika dia dibantu oleh bawahannya," lanjutnya, bergidik ngeri.
"Sayang sekali, padahal aku ingin melihat pertarungan kalian," keluh Zeze.
"Yang penting kita sudah menangani target kita," timpal Juni dengan helaan napas berat. Sepertinya ada suatu hal yang membuat gadis itu kecewa.
"Benar." Zeze mengangguk dan tidak meminta lebih.
"Kalian akan melakukan apa setelah ini?" Aurel yang berjalan di tengah bertanya. Pakaiannya terlihat lebih bersih dan rapi dari temannya yang lain. Tak ditemukan titik darah atau debu di seratnya.
Obi melihat ke arah bintang-bintang, "aku akan pergi bertualang dengan Zeze sampai misi baru muncul." Jawabannya terdengar tidak yakin.
"Tapi bukankah Zeze sudah harus kembali ke Istana Timur Aplistia? Jika ia lama tidak ada kabar, pasti akan ada yang curiga." Kebingungan, Chanara memiringkan kepalanya.
"Berat sekali ya Tuan Putri Rozeale," goda Leah sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Zeze yang sama sekali tidak terlihat menanggapi.
"Aku dapat pesan, kelompok yang lain juga telah menyelesaikan misi mereka dan bersiap kembali ke markas," tutur Zafth sambil memainkan ponselnya.
Chanara menyeringai, "sepertinya akan ada makan besar malam ini."
"Berarti aku tidak jadi mentraktir kalian." Zeze terkekeh.
Obi merangkul Zeze yang berjalan di samping kanannya, "kali ini kau lolos, Ze."
Markas mereka kali ini dipadati oleh sekiranya 25 orang. Jejeran hidangan menghiasi meja panjang di tengah-tengah kerumunan itu. Sofa-sofa aneka warna diasingkan ke dinding, sementara mereka semua berdiri. Suara obrolan dan musik Jazz yang mengalun menumpas keheningan. Baru saja mereka melangkahkan kaki ke dalam setelah perjalanan panjang di dalam pesawat, kata-kata penuh keakraban langsung memeluk mereka.
"Kalian lama sekali!"
"Karena semuanya telah berkumpul, ayo kita makan!"
"Bersulang untuk kemenangan!"
Zeze menyapukan pandangannya mengelilingi kawan-kawannya—keluarganya—satu per satu. Detik itu juga, sekelebat kenangan melintas di otaknya. Mereka telah melewati susah dan senangnya kehidupan.
Mereka tahu akan datang saatnya dimana mereka akan kehilangan satu sama lain. Namun meski begitu, mereka berpura-pura tak menyadarinya dan tetap tertawa layaknya tak ada hari esok.
Kebersamaan yang terlihat begitu hangat bagaikan api dalam diri mereka.
Dengan sorot mata menghangat, Zeze tersenyum. Namun ini bukanlah senyum dingin penuh intimidasi seperti yang biasa ia tunjukan. Kali ini hangat bagaikan sebuah rangkulan.
Mereka ini memang cahaya.
Cahaya yang sangat 'terang'.
Meskipun begitu, bagaimana mungkin matanya dapat 'berpaling' dari mereka?