2 STARTED
Di bagian depan sebuah mansion bergaya klasik, seorang gadis yang kecantikannya menyamai Dewi Aphrodite, berdiri diam dengan anggun sembari menyerahkan surat undangan kepada penerima tamu. Rambutnya panjang ikal berwarna hitam, warna yang senada dengan gaun tanpa kerah yang membalut tubuhnya.
Setelah melihat identitasnya, penerima tamu itu membungkuk sopan dan membukakan pintu kembar berwarna coklat gelap kepadanya. Ketika sepasang kaki jenjangnya melangkah masuk ke dalam, gadis itu langsung disambut dengan suara percakapan orang-orang.
Tempat ini bukan lagi tempat pertemuan, tetapi tempat perlombaan. Setiap orang di sini berlomba-lomba untuk jadi yang terbaik dengan pakaian, perhiasan, dan riasan yang melekat pada tubuh mereka.
Ia tidak punya waktu untuk hal semacam ini. Ia hanya perlu menjalankan tugasnya, yaitu mencari orang-orang yang paling berpengaruh di sini. Statusnya sebagai anak dari salah satu bangsawan sangat menguntungkannya. Ia harus cepat-cepat mencari tahu keberadaan ketiga targetnya dan juga para penyidik. Dan yang paling penting, ia harus memastikan betul bahwa para penyidik itu terpisah dari pimpinannya, Antoni Barier.
Namun dirinya harus bersabar dan tetap mempertahankan sandiwaranya, karena ada saja orang-orang yang mengenalinya dan menyapanya dengan namanya.
"Juni!" Satu sapaan tercurah.
"Selamat malam, Lady Juni." Dan satu lagi. Hingga akhirnya menumpuk sampai tak terhitung jari.
Dan Juni tidaklah bodoh untuk dapat tertipu oleh segala kepalsuan mereka. Bibir mereka melukiskan senyuman, namun yang sebenarnya tertoreh adalah cibiran. Mereka seperti cermin, tersenyum ketika orang lain tersenyum, tak punya pendirian, hanya mengikuti refleksi orang lain.
Dan sekarang, ia harus tahan memainkan perannya menjadi salah satu dari mereka.
Di saat yang sama, satu jam sebelum mimpi buruk itu terjadi, dua orang pemuda berumur sekitar 20-an dan seorang perempuan berambut coklat yang terlihat masih di usia remaja, menyandarkan punggung mereka ke dinding di luar mansion dengan kaki yang berdiri tegak.
Ketiganya mengenakan pakaian serupa yang terlihat seperti seragam khusus, yaitu atasan kemeja berbahan tebal dan kasar disertai dengan jubah berlengan panjang semata kaki, dipadu dengan celana panjang berbahan sama. Seluruhnya berwarna hitam pekat. Jubah mereka tidak dikancing sehingga memamerkan lencana berpangkat yang mengisi kemeja mereka.
"Sejuk sekali ya angin malam ini." Yang perempuan berkata, menengadah sambil tersenyum, menghirup angin yang membelai wajahnya. Ia menoleh ke kanan, ke arah dua orang pemuda yang juga ikut berdiri mendampinginya, "ngomong-ngomong, mengapa kalian memilih pekerjaan ini?" Tanyanya.
Salah satunya yang berambut pirang pasir menjawab, "tentu saja karena uang yang banyak!" Suaranya terdengar sangat mantap dan polos di saat yang sama. Di sebelahnya kanannya, seorang pemuda berambut hitam gelap tersenyum dan mengangguk setuju.
"Sudah kuduga karena itu." Si Perempuan mendesah dengan mata terpejam. "Ngomong-ngomong, sudah satu bulan berlalu ya semenjak kita dimasukkan ke divisi ini," singgungnya. "Benar kan, Luke?" Ia menoleh ke arah laki-laki berambut pirang pasir, kemudian sedikit memajukan kepalanya agar dapat melihat laki-laki yang memiliki rambut hitam di ujung sana, "Ulbert?"
"Benar juga," balas Luke dengan pandangan menerawang ke depan.
"Apa yang akan kau lakukan dengan upah dari pekerjaan ini?" Ulbert bertanya kepada Luke.
"Tentu saja membahagiakan keluargaku. Aku akan membelikan mereka rumah termegah di dunia!" Luke mengepalkan tangannya yang terlipat di belakang pinggangnya dengan mata penuh tekad, "kalau kau?"
"Aku akan berkeliling dunia sampai puas!" Ulbert mengatakannya dengan senyum mengembang, membayangkan mengunjungi tempat-tempat yang hanya dapat dilihatnya lewat peta saat pelajaran geografi di sekolah dulu.
Perempuan tersebut tersenyum hangat, "mimpi yang indah."
Mereka terus berbincang-bincang sampai tak merasakan sudah satu jam terlewat. Membagi pikiran masing-masing di balik canda dan tawa. Hingga tiba saatnya, obrolan mereka pun teredam oleh suara tembakan dan teriakan orang-orang di dalam bangunan yang sedang mereka sandarkan.
Setelah berdiskusi lewat tatapan mata, mereka memutuskan untuk mengamankan orang-orang yang ada di dalam. Tapi tiba-tiba, bunyi sebuah benda jatuh mengunci langkah mereka di tempat.
Refleks, mereka menoleh ke sumber bunyi. Ternyata di hadapan mereka sesuatu yang mengerikan telah menanti. Mungkin seharusnya mereka tidak berhenti, ataupun tidak perlu berada di sini.
Dengan topeng berbentuk aneh, seorang perempuan berambut platinum panjang yang diikat satu, berjalan dengan langkah tenang menghampiri mereka. Gadis itu mengenakan atasan kaus hitam dengan jaket denim biru di luarnya, dipadu dengan ripped jeans biru selutut. Di kedua tangannya terpajang pedang lurus tanpa lekukan.
Saat itulah sorot mata mereka bertiga menajam. Dengan waspada, mereka mencabut pedang yang menggantung di samping pinggang masing-masing.
"Siapa kau?" Selidik Ulbert. Nadanya kalem namun dingin. Suara dan sikapnya pun berubah sangat defensif.
"Manusia tentunya." Suaranya agak teredam oleh topeng, tapi tidak mengurangi kemerduannya.
"Apakah kau juga dalang di balik kekacauan ini?"
"Bukankah itu sudah jelas?"
"Meski begitu kau menyebut dirimu manusia?"
"Apakah kalian juga sudah pantas menyebut diri kalian manusia?"
"Kenapa kalian melakukan ini?" Kini berganti Luke yang bertanya. Suaranya tidak setenang Ulbert.
"Sejak awal aku memutuskan mengambil jalan ini, aku sudah meneguhkan hatiku. Aku percaya mengambil satu nyawa, di lain pihak juga akan menyelamatkan nyawa yang lain. Karena itulah aku tidak memiliki keraguan." Suara Zeze cukup tenang tanpa bumbu keraguan. Dengan santainya, ia malah memutar-mutar pedang di tangan kanannya.
"Jika kalian menanyakan tujuannya, tentu untuk kedamaian," sambungnya.
"Omong kosong!" Luke berteriak lantang. Setiap inci sel dalam tubuhnya menolak kata demi kata yang diucapkan Zeze.
Tanpa menunggu lama, mereka bertiga mulai maju menyerang secara bersamaan. Luke menyerang dari depan dan langsung ditangkis oleh Zeze dengan pedang di tangan kirinya. Pertemuan lempengan logam tersebut menciptakan bunyi gesekan yang memekakkan.
Masih di detik yang sama, Ulbert menyerang dari arah belakang. Dan betapa terkejutnya, ketika dia melihat Zeze menahan serangannya tanpa sedikit pun membalik badan. Tangan kanan Zeze terlipat ke belakang dan menahan pedangnya! Sulit dipercaya serangan berbarengan dan tanpa jeda itu dapat dihentikannya dengan mudah.
Di detik yang sama pula, Zeze menekan mundur pedang mereka kemudian menendang Luke dan Ulbert bergantian. Tak sampai di situ, Zeze melempar salah satu pedangnya ke arah si perempuan berambut coklat sebelum dia sempat menyokong kedua rekannya.
Zeze mengincar kaki kanannya dan dengan mulus mengenainya, tenggelam melewati daging betis dan sukses membuat dia runtuh sambil meringis kesakitan.
Luke dan Ulbert tidak menyadari hal itu karena terlalu fokus kepada Zeze. Mereka tidak berniat memberi Zeze waktu untuk bersiap, jadi mereka melakukan semuanya secara bersamaan.
Serangan demi serangan mereka layangkan. Dentingan pedang berangsur-angsur memecah malam. Detik demi detik pun berlalu. Tapi semuanya sanggup Zeze tangkis dengan mudah. Kurang lebih satu menit mereka melakukan tarian mematikan itu.
Tapi pada akhirnya, semua permainan kekanakan ini memang harus segera diakhiri. Di saat Luke mencoba menyerang dari arah depan, Zeze menghindar ke samping, sehingga kini di hadapan Luke bukan lagi Zeze, musuhnya.
Pedang Luke dengan mulusnya menusuk dada Ulbert.
Sama seperti pada saat Luke mendengar omong kosong Zeze, setiap inci sel dalam tubuhnya berontak, tak ingin sama sekali mempercayai matanya. Ulbert ambruk dengan pedang Luke yang masih tertancap tepat di dadanya, menusuk jantungnya yang selama 22 tahun ini bekerja keras memberi laki-laki itu kehidupan.
"Kak Ulbert!" Percuma, bahkan jika ia berniat berteriak tepat di telinganya, hal itu masih tak akan bisa membuatnya bangkit kembali. "Sialan kau!" Luke meraung. Ia marah, sangat marah. Namun ia tidak tahu siapa yang pantas menjadi sasaran amarahnya. Ia hanya ingin seluruh dunia yang tidak adil ini menghilang.
"Untuk apa kau marah? Bukankah kau sendiri yang menusuknya?" Zeze bertanya dengan suaranya yang tetap rendah dan tenang, seakan-akan seonggok hati tak tertanam di rongga dadanya.
Urat terlihat menyembul di leher dan pelipis Luke. Tubuhnya bergetar murka. Ia maju, menyerang sambil berteriak. Akal sehatnya telah tertindih oleh emosi. Yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana caranya melampiaskan amarah yang sudah tak terbendung ini kepada sosok bertopeng sialan di hadapannya itu.
Namun bagi Zeze, serangan Luke kali ini tidak lebih dari sekedar cubitan tiba-tiba seorang bocah. Bahkan lebih buruk dibanding saat-saatnya kolaborasi dengan Ulbert tadi.
Dan dalam sekejap, kini dua mayat manusia telah terbaring di dinginnya permukaan tanah, membatasi antara Zeze dan perempuan berambut coklat sebahu itu. Perempuan itu hanya dapat membulatkan mata. Bahkan sejak awal Ulbert tumbang, ia sudah menduga ini. Ia tak bisa apa-apa bahkan ketika sudah mengetahuinya.
Rasanya baru satu jam lalu mereka saling berbincang dan bertukar mimpi, kini keduanya telah tidak ada lagi di dunia ini. Segampang itu dia mengambil nyawa seseorang...
"Bolehkah aku bertanya?" Perempuan itu menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Mengapa kita harus bertarung bila kita mempunyai tujuan yang sama?" Matanya menyiram Zeze dengan luapan kebencian.
Waktu makin terkikis tapi hanya keheningan yang memeluk mereka. Sampai akhirnya, Zeze pun memutuskan membuka suaranya.
"Jika hal seperti itu saja kau tidak tahu, lebih baik lepaskan saja senjatamu." Zeze menutup matanya, "orang yang berhak memegang senjata adalah orang yang telah meneguhkan hatinya dan paham apa yang harus diperbuat serta sadar apa yang dilakukannya."
Perempuan itu mengerutkan alis. Ia tidak mengerti. Tapi, apakah ini adalah waktu yang tepat untuknya merasakan empati terhadap perempuan bertopeng itu?
"Aku tidak bisa lama-lama. Maaf, jika tidak dalam situasi seperti ini, kita mungkin dapat saling mengenal."
Setelah mengatakannya, Zeze pun berjalan mendekat dengan perlahan. Toh, tidak perlu terlalu buru-buru melakukannya karena jiwa perempuan itu sudah pasti akan lenyap di tangannya. Ia berhenti satu langkah darinya dan mengangkat pedang di tangan kirinya ke atas.
Dan perempuan tersebut tahu betul apa yang selanjutnya akan terjadi. Ia telah melihat ini. Dengan pasrah, ia pun membungkus matanya dan menerima takdirnya. Ia bahkan tidak dapat berkonsentrasi mengeluarkan aura karena terusik oleh rasa sakit di kakinya. Tapi semua itu sudah tidak perlu. Tanpa mencurahkan kemampuannya sekalipun, jawabannya sudah pasti satu: ia akan mati kali ini.
Namun ada yang janggal. Sudah 10 detik terlewat, pedang itu belum juga menghunjam tubuhnya. Jika ingin membunuhnya, ia harap lakukan saja dengan cepat. Ia sudah tidak ingin menderita. Tapi mengapa waktu seakan mempermainkannya?
Ia pun memberanikan diri untuk membuka perlahan matanya. Sesuatu menghalangi pandangannya dari cahaya.
Punggung seorang laki-laki berambut sepekat malam dengan kedua tangan menggenggam katana hitam bercorak hijau menyala.
Setelah melihat identitasnya, penerima tamu itu membungkuk sopan dan membukakan pintu kembar berwarna coklat gelap kepadanya. Ketika sepasang kaki jenjangnya melangkah masuk ke dalam, gadis itu langsung disambut dengan suara percakapan orang-orang.
Tempat ini bukan lagi tempat pertemuan, tetapi tempat perlombaan. Setiap orang di sini berlomba-lomba untuk jadi yang terbaik dengan pakaian, perhiasan, dan riasan yang melekat pada tubuh mereka.
Ia tidak punya waktu untuk hal semacam ini. Ia hanya perlu menjalankan tugasnya, yaitu mencari orang-orang yang paling berpengaruh di sini. Statusnya sebagai anak dari salah satu bangsawan sangat menguntungkannya. Ia harus cepat-cepat mencari tahu keberadaan ketiga targetnya dan juga para penyidik. Dan yang paling penting, ia harus memastikan betul bahwa para penyidik itu terpisah dari pimpinannya, Antoni Barier.
Namun dirinya harus bersabar dan tetap mempertahankan sandiwaranya, karena ada saja orang-orang yang mengenalinya dan menyapanya dengan namanya.
"Juni!" Satu sapaan tercurah.
"Selamat malam, Lady Juni." Dan satu lagi. Hingga akhirnya menumpuk sampai tak terhitung jari.
Dan Juni tidaklah bodoh untuk dapat tertipu oleh segala kepalsuan mereka. Bibir mereka melukiskan senyuman, namun yang sebenarnya tertoreh adalah cibiran. Mereka seperti cermin, tersenyum ketika orang lain tersenyum, tak punya pendirian, hanya mengikuti refleksi orang lain.
Dan sekarang, ia harus tahan memainkan perannya menjadi salah satu dari mereka.
Di saat yang sama, satu jam sebelum mimpi buruk itu terjadi, dua orang pemuda berumur sekitar 20-an dan seorang perempuan berambut coklat yang terlihat masih di usia remaja, menyandarkan punggung mereka ke dinding di luar mansion dengan kaki yang berdiri tegak.
Ketiganya mengenakan pakaian serupa yang terlihat seperti seragam khusus, yaitu atasan kemeja berbahan tebal dan kasar disertai dengan jubah berlengan panjang semata kaki, dipadu dengan celana panjang berbahan sama. Seluruhnya berwarna hitam pekat. Jubah mereka tidak dikancing sehingga memamerkan lencana berpangkat yang mengisi kemeja mereka.
"Sejuk sekali ya angin malam ini." Yang perempuan berkata, menengadah sambil tersenyum, menghirup angin yang membelai wajahnya. Ia menoleh ke kanan, ke arah dua orang pemuda yang juga ikut berdiri mendampinginya, "ngomong-ngomong, mengapa kalian memilih pekerjaan ini?" Tanyanya.
Salah satunya yang berambut pirang pasir menjawab, "tentu saja karena uang yang banyak!" Suaranya terdengar sangat mantap dan polos di saat yang sama. Di sebelahnya kanannya, seorang pemuda berambut hitam gelap tersenyum dan mengangguk setuju.
"Sudah kuduga karena itu." Si Perempuan mendesah dengan mata terpejam. "Ngomong-ngomong, sudah satu bulan berlalu ya semenjak kita dimasukkan ke divisi ini," singgungnya. "Benar kan, Luke?" Ia menoleh ke arah laki-laki berambut pirang pasir, kemudian sedikit memajukan kepalanya agar dapat melihat laki-laki yang memiliki rambut hitam di ujung sana, "Ulbert?"
"Benar juga," balas Luke dengan pandangan menerawang ke depan.
"Apa yang akan kau lakukan dengan upah dari pekerjaan ini?" Ulbert bertanya kepada Luke.
"Tentu saja membahagiakan keluargaku. Aku akan membelikan mereka rumah termegah di dunia!" Luke mengepalkan tangannya yang terlipat di belakang pinggangnya dengan mata penuh tekad, "kalau kau?"
"Aku akan berkeliling dunia sampai puas!" Ulbert mengatakannya dengan senyum mengembang, membayangkan mengunjungi tempat-tempat yang hanya dapat dilihatnya lewat peta saat pelajaran geografi di sekolah dulu.
Perempuan tersebut tersenyum hangat, "mimpi yang indah."
Mereka terus berbincang-bincang sampai tak merasakan sudah satu jam terlewat. Membagi pikiran masing-masing di balik canda dan tawa. Hingga tiba saatnya, obrolan mereka pun teredam oleh suara tembakan dan teriakan orang-orang di dalam bangunan yang sedang mereka sandarkan.
Setelah berdiskusi lewat tatapan mata, mereka memutuskan untuk mengamankan orang-orang yang ada di dalam. Tapi tiba-tiba, bunyi sebuah benda jatuh mengunci langkah mereka di tempat.
Refleks, mereka menoleh ke sumber bunyi. Ternyata di hadapan mereka sesuatu yang mengerikan telah menanti. Mungkin seharusnya mereka tidak berhenti, ataupun tidak perlu berada di sini.
Dengan topeng berbentuk aneh, seorang perempuan berambut platinum panjang yang diikat satu, berjalan dengan langkah tenang menghampiri mereka. Gadis itu mengenakan atasan kaus hitam dengan jaket denim biru di luarnya, dipadu dengan ripped jeans biru selutut. Di kedua tangannya terpajang pedang lurus tanpa lekukan.
Saat itulah sorot mata mereka bertiga menajam. Dengan waspada, mereka mencabut pedang yang menggantung di samping pinggang masing-masing.
"Siapa kau?" Selidik Ulbert. Nadanya kalem namun dingin. Suara dan sikapnya pun berubah sangat defensif.
"Manusia tentunya." Suaranya agak teredam oleh topeng, tapi tidak mengurangi kemerduannya.
"Apakah kau juga dalang di balik kekacauan ini?"
"Bukankah itu sudah jelas?"
"Meski begitu kau menyebut dirimu manusia?"
"Apakah kalian juga sudah pantas menyebut diri kalian manusia?"
"Kenapa kalian melakukan ini?" Kini berganti Luke yang bertanya. Suaranya tidak setenang Ulbert.
"Sejak awal aku memutuskan mengambil jalan ini, aku sudah meneguhkan hatiku. Aku percaya mengambil satu nyawa, di lain pihak juga akan menyelamatkan nyawa yang lain. Karena itulah aku tidak memiliki keraguan." Suara Zeze cukup tenang tanpa bumbu keraguan. Dengan santainya, ia malah memutar-mutar pedang di tangan kanannya.
"Jika kalian menanyakan tujuannya, tentu untuk kedamaian," sambungnya.
"Omong kosong!" Luke berteriak lantang. Setiap inci sel dalam tubuhnya menolak kata demi kata yang diucapkan Zeze.
Tanpa menunggu lama, mereka bertiga mulai maju menyerang secara bersamaan. Luke menyerang dari depan dan langsung ditangkis oleh Zeze dengan pedang di tangan kirinya. Pertemuan lempengan logam tersebut menciptakan bunyi gesekan yang memekakkan.
Masih di detik yang sama, Ulbert menyerang dari arah belakang. Dan betapa terkejutnya, ketika dia melihat Zeze menahan serangannya tanpa sedikit pun membalik badan. Tangan kanan Zeze terlipat ke belakang dan menahan pedangnya! Sulit dipercaya serangan berbarengan dan tanpa jeda itu dapat dihentikannya dengan mudah.
Di detik yang sama pula, Zeze menekan mundur pedang mereka kemudian menendang Luke dan Ulbert bergantian. Tak sampai di situ, Zeze melempar salah satu pedangnya ke arah si perempuan berambut coklat sebelum dia sempat menyokong kedua rekannya.
Zeze mengincar kaki kanannya dan dengan mulus mengenainya, tenggelam melewati daging betis dan sukses membuat dia runtuh sambil meringis kesakitan.
Luke dan Ulbert tidak menyadari hal itu karena terlalu fokus kepada Zeze. Mereka tidak berniat memberi Zeze waktu untuk bersiap, jadi mereka melakukan semuanya secara bersamaan.
Serangan demi serangan mereka layangkan. Dentingan pedang berangsur-angsur memecah malam. Detik demi detik pun berlalu. Tapi semuanya sanggup Zeze tangkis dengan mudah. Kurang lebih satu menit mereka melakukan tarian mematikan itu.
Tapi pada akhirnya, semua permainan kekanakan ini memang harus segera diakhiri. Di saat Luke mencoba menyerang dari arah depan, Zeze menghindar ke samping, sehingga kini di hadapan Luke bukan lagi Zeze, musuhnya.
Pedang Luke dengan mulusnya menusuk dada Ulbert.
Sama seperti pada saat Luke mendengar omong kosong Zeze, setiap inci sel dalam tubuhnya berontak, tak ingin sama sekali mempercayai matanya. Ulbert ambruk dengan pedang Luke yang masih tertancap tepat di dadanya, menusuk jantungnya yang selama 22 tahun ini bekerja keras memberi laki-laki itu kehidupan.
"Kak Ulbert!" Percuma, bahkan jika ia berniat berteriak tepat di telinganya, hal itu masih tak akan bisa membuatnya bangkit kembali. "Sialan kau!" Luke meraung. Ia marah, sangat marah. Namun ia tidak tahu siapa yang pantas menjadi sasaran amarahnya. Ia hanya ingin seluruh dunia yang tidak adil ini menghilang.
"Untuk apa kau marah? Bukankah kau sendiri yang menusuknya?" Zeze bertanya dengan suaranya yang tetap rendah dan tenang, seakan-akan seonggok hati tak tertanam di rongga dadanya.
Urat terlihat menyembul di leher dan pelipis Luke. Tubuhnya bergetar murka. Ia maju, menyerang sambil berteriak. Akal sehatnya telah tertindih oleh emosi. Yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana caranya melampiaskan amarah yang sudah tak terbendung ini kepada sosok bertopeng sialan di hadapannya itu.
Namun bagi Zeze, serangan Luke kali ini tidak lebih dari sekedar cubitan tiba-tiba seorang bocah. Bahkan lebih buruk dibanding saat-saatnya kolaborasi dengan Ulbert tadi.
Dan dalam sekejap, kini dua mayat manusia telah terbaring di dinginnya permukaan tanah, membatasi antara Zeze dan perempuan berambut coklat sebahu itu. Perempuan itu hanya dapat membulatkan mata. Bahkan sejak awal Ulbert tumbang, ia sudah menduga ini. Ia tak bisa apa-apa bahkan ketika sudah mengetahuinya.
Rasanya baru satu jam lalu mereka saling berbincang dan bertukar mimpi, kini keduanya telah tidak ada lagi di dunia ini. Segampang itu dia mengambil nyawa seseorang...
"Bolehkah aku bertanya?" Perempuan itu menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Mengapa kita harus bertarung bila kita mempunyai tujuan yang sama?" Matanya menyiram Zeze dengan luapan kebencian.
Waktu makin terkikis tapi hanya keheningan yang memeluk mereka. Sampai akhirnya, Zeze pun memutuskan membuka suaranya.
"Jika hal seperti itu saja kau tidak tahu, lebih baik lepaskan saja senjatamu." Zeze menutup matanya, "orang yang berhak memegang senjata adalah orang yang telah meneguhkan hatinya dan paham apa yang harus diperbuat serta sadar apa yang dilakukannya."
Perempuan itu mengerutkan alis. Ia tidak mengerti. Tapi, apakah ini adalah waktu yang tepat untuknya merasakan empati terhadap perempuan bertopeng itu?
"Aku tidak bisa lama-lama. Maaf, jika tidak dalam situasi seperti ini, kita mungkin dapat saling mengenal."
Setelah mengatakannya, Zeze pun berjalan mendekat dengan perlahan. Toh, tidak perlu terlalu buru-buru melakukannya karena jiwa perempuan itu sudah pasti akan lenyap di tangannya. Ia berhenti satu langkah darinya dan mengangkat pedang di tangan kirinya ke atas.
Dan perempuan tersebut tahu betul apa yang selanjutnya akan terjadi. Ia telah melihat ini. Dengan pasrah, ia pun membungkus matanya dan menerima takdirnya. Ia bahkan tidak dapat berkonsentrasi mengeluarkan aura karena terusik oleh rasa sakit di kakinya. Tapi semua itu sudah tidak perlu. Tanpa mencurahkan kemampuannya sekalipun, jawabannya sudah pasti satu: ia akan mati kali ini.
Namun ada yang janggal. Sudah 10 detik terlewat, pedang itu belum juga menghunjam tubuhnya. Jika ingin membunuhnya, ia harap lakukan saja dengan cepat. Ia sudah tidak ingin menderita. Tapi mengapa waktu seakan mempermainkannya?
Ia pun memberanikan diri untuk membuka perlahan matanya. Sesuatu menghalangi pandangannya dari cahaya.
Punggung seorang laki-laki berambut sepekat malam dengan kedua tangan menggenggam katana hitam bercorak hijau menyala.