1 BURN
Laki-laki itu memandangnya datar, "apakah ada alasan khusus?"
Ia tahu pasti maksud dari pertanyaan itu, karena itulah ia langsung menjawab. "Alasan? Aku hanya ingin memperbaiki dunia yang berantakan ini."
"Begitu ya?" Laki-laki di hadapannya tersenyum damai dengan kelopak yang membungkus mata kelamnya, "terang sekali. Saking terangnya, aku sampai harus berpaling." Dia membuka matanya, "jadi itukah keputusanmu?"
"Ya, aku akan melakukannya dengan caraku. Kau pasti juga akan begitu kan?"
Sesaat hening menghiasi suasana di antara dua orang ini. Hanya ada suara angin sebagai musik latar. Namun pasti, mereka meratapi takdir yang melingkari mereka.
"Baiklah, kita akan mengambil jalan masing-masing." Sorot matanya mengeras, "aku akan melepaskanmu kali ini. Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan membunuhmu."
"Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan menyelamatkanmu."
=======================
VOLUME 1
Goddess Of The Hunt
"Dewi Perburuan"
=======================
Pada abad ke-22, Aplistia, negara pecahan Yunani itu bukan lagi negara yang berbentuk kerajaan. Kini negara adidaya tersebut dipimpin oleh dewan berisikan para bangsawan yang menyebut diri mereka sebagai wakil dari rakyat. Hal ini terjadi karena raja terakhir dari Aplistia memutuskan untuk membubarkan sistem kerajaan ini. Anggota kerajaan asli tentunya masih ada dan dihormati serta disegani oleh penduduknya.
Perubahan adalah hal yang tidak mungkin dihindari di dunia ini.
Nah, sekarang mari kita bagi dunia menjadi dua bagian.
Bagian kanan adalah dunia dimana terdapat kupu-kupu yang tidak dapat mengepakkan sayapnya.
Sementara bagian kiri adalah para kantung sampah yang memiliki segalanya.
Pernahkah kalian berpikir tentang keberadaan orang-orang yang telah lelah dengan dunia yang berantakan ini?
Atau mungkin itu kalian sendiri?
Lalu, apa tanggapan kalian tentang api?
Pasti tidak jauh dari sesuatu yang panas, merusak, merenggut.
Tapi berbeda dengan orang-orang ini.
Bagi mereka api adalah cahaya, simbol, dan kehangatan.
Apakah kalian percaya dengan manusia yang memiliki kekuatan?
Tidak mungkin ada? Tentu saja mungkin.
Setiap makhluk hidup menyimpan sebuah energi kehidupan yang dinamakan aura. Jika diasah dengan benar, energi tersebut dapat digunakan menjadi sesuatu yang berguna.
Semua yang memiliki kehidupan dapat membangun potensi luar biasa itu. Hanya dengan sebuah sentuhan ajaib yang dinamakan usaha, segala sesuatunya mengandung kemungkinan, bahkan jika itu hal terkonyol sekalipun.
Di sebuah ruangan mansion bergaya klasik dengan sentuhan kontemporer, seorang pria paruh baya menggebrak meja ketika berbicara dengan wajah keras kepada seseorang lewat telepon tanpa kabel.
"Aku tidak peduli! Cepat habisi para brengsek itu!"
Ia menutup teleponnya dengan kasar lalu mendarat pada brangkas besar di belakangnya. Ia menekan-nekan tombolnya. Gerakannya yang terburu-buru melahirkan nada yang sumbang di setiap tekanan telunjuknya. Lalu ia mengeluarkan isi yang ada di dalamnya—tumpukan kertas berbentuk persegi panjang—uang yang sangat banyak.
"Setidaknya aku harus membawa ini. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Yang di luar biar mereka yang urus!"
Sementara itu, di atas tebing yang menjulang tinggi tak jauh dari rumah besar tersebut, empat orang berdiri bagai burung hering yang sedang mengharap mangsa. Kehadiran mereka begitu kuat hingga menenggelamkan kegelapan sekitar.
"Zeze, berapa banyak?" Tanya seorang lelaki berhoodie. Rambutnya berwarna abu-abu, berantakan namun lembut bagai kapas.
"Hmm... 50 mungkin." Perempuan yang dipanggil Zeze itu menjawab. Ia menjulang paling depan. Tatapannya menerawang lurus, mengawasi bagai singa. Cahaya sang dewi malam cukup untuk memperjelas sosoknya.
Perempuan berumur sekitar 16 tahun dengan kulit seputih salju. Matanya berwarna biru langit dan berkilau indah. Rambutnya yang berwarna pirang platinum dibiarkan mengalir sampai ke pinggang dan memercikkan kilauan terang atas pantulan sinar rembulan.
Sebuah sosok yang sangat pantas untuk mewakili sebutan kecantikan kelas dunia.
"Heh, 50?" Zeze mendengar seseorang di samping kanannya mencemooh dengan suara yang terkesan meremehkan. Bunyinya bagaikan seorang anak kecil yang sedang mengunyah permen karet.
"Idiot," gumam Zeze tanpa melepaskan pandangannya dari depan.
Orang yang mendengar cemoohan Zeze tadi wajahnya langsung memerah.
"A... apa yang kau katakan! Itukan jumlah yang sedikit! Jadi wajar aku bilang begitu! Jika aku tembaki mereka sekarang, mereka pasti sudah akan mati!" Ocehnya.
Zeze meliriknya di sudut mata. Orang itu—seorang perempuan dengan rambut Ikal yang dikuncir dan dicat berwarna rosegold—selalu saja mengganggu konsentrasinya.
Tidak ingin ambil pusing, Zeze tetap memfokuskan mata beriris birunya ke depan
"Sepertinya Seeker kita sedikit lambat kali ini," ledek lelaki berambut abu-abu tadi. Zeze dapat merasakan suaranya memajang seringai jahil.
"Zafth, maju." Zeze merespons lelaki berambut abu-abu tersebut.
"Oh, langsung?" Seseorang di belakang Zafth bertanya. Suara feminimnya melengking dan menyiratkan keceriaan. Ia memiliki rambut panjang yang dicat ungu kemerahan yang berkibar disapu angin malam.
"Ya, aku sudah selesai mengamati." Zeze berbalik, menghadap perempuan berambut ungu panjang tersebut, "dan Chanara..."
"Apa?" Sahutnya, memiringkan kepala.
"Kau maju ke depan seperti biasa tapi jangan jauh-jauh dari Zafth."
"Aye!" Jawab Chanara. Meskipun nadanya terdengar ceria, tak ada perubahan berarti dari wajah pucatnya.
Dan di sinilah mereka berempat berada. Bersiap merampas takdir kurang lebih 50 orang yang sudah siap dengan senjata dan seragam kebanggaan mereka. Mengucap pamit kepada keluarga dan sanak saudara, susah payah datang hanya untuk mati.
Zeze tersenyum, memamerkan senyum cantiknya bak malaikat. Ya, malaikat maut.
"Aku tidak perlu turun tebing kan?" Suara itu lagi, suara bagai pengunyah permen karet.
Zeze menoleh dan meliput penampilannya. Gadis itu memiliki tato di leher sebelah kanan, dekat tulang selangka bertuliskan MIA, yang adalah namanya.
Zeze mengangkat bahu, "jika kau ingin mati, silakan."
Mia yang mendengarnya langsung bersungut kesal. "Awas kau ya! Aku ini lebih tua darimu. Setidaknya hormati aku sedikit saja!"
"Aku lebih tinggi darimu." Zeze membalas santai.
"Zeze!" Kini Mia menggeram, intonasinya melejit naik satu oktaf. Emosinya tambah membengkak ketika melihat Zeze terkekeh geli.
Tidak ingin membiarkan kejengkelan ini merajainya terus sampai melupakan tugas yang harus dilakukannya, akhirnya Mia mulai mendesak beberapa peluru ke dalam senapan berwarna hitam legam miliknya.
Berlutut dengan satu kaki, Mia membawa senapan itu tepat ke depan wajahnya, bersiap untuk membidik. Gerakannya begitu anggun dan natural. Seakan-akan hal ini telah menjadi makanan sehari-harinya.
Irama napasnya yang tenang terdengar sangat beraturan. Bahkan Zeze yang kini ikut bersila di sisi kanannya, tidak sanggup sedetik pun membungkus matanya. Ia tidak mampu berpaling dari konsentrasi luar biasa sosok mengagumkan di sampingnya ini.
Tak dapat dipungkiri, angin di sekeliling mereka seakan berhenti berembus. Begitu Mia menahan napasnya, waktu benar-benar terasa berhenti. Meski ini adalah ke sekian kalinya Zeze meliput Mia membidik mangsanya, ia tetap tidak bisa berkata apa-apa. Matanya mengukir berjuta bukti rasa hormat dan kekaguman.
Mia mulai menarik pelatuknya dua kali, dan keduanya tepat mengenai sasaran. Jika orang biasa pasti akan berpikir ia hanya membidik di satu tempat. Tapi Zeze dapat mengetahui pasti bahwa sepersekian detik sebelum Mia melepaskan tembakan yang kedua, ia sedikit menggeser posisi senapannya ke kiri.
Peluru-peluru itu melesat bagai cahaya dan mendarat tepat di tengah-tengah kepala mangsanya. Kepala itu pecah seketika dan ada juga yang terbakar terlebih dahulu, tergantung dari jenis peluru yang digunakan Mia.
Mia memulai lagi aksinya. Kini targetnya adalah seorang prajurit yang bersiap menusuk Chanara dari belakang dengan belati.
Dengan senyum kejinya, Mia menahan napas. Perlahan, telunjuknya menarik pelatuk hingga membawanya melesat dan meluruhkan kepala targetnya.
Tidak perlu diragukan lagi, ini adalah attacker jarak jauh terbaik Énkavma.
Sementara Zeze dan Mia hinggap di bibir tebing, memantau serta mengincar musuh dari jarak jauh, di waktu yang sama, Chanara dan Zafth menyerang dari jarak dekat.
Dengan kapak besar yang beratnya mungkin setara dengan truk, begitu lihainya Chanara mengayunkannya dengan satu tangan.
Setiap ayunannya melahirkan suara tengkorak yang hancur tertebas. Gerakannya seperti menari, tarian kematian, yang bahkan sanggup membuat iri balerina mana pun.
Begitu banyaknya prajurit yang mengerubungi mereka, menunggu giliran kematian menyambut. Tapi setidaknya mereka sudah berusaha, mati membawa kebanggaan sebagai pahlawan yang berkorban.
Mungkin itulah yang selama ini mereka yakini. Mati untuk sampah.
Chanara yang paling banyak dikerubungi oleh prajurit dibanding Zafth. Bukan karena dia adalah perempuan dan lebih mudah untuk diurus. Mungkin itu benar, tapi ada alasan lainnya. Karena memang itulah kekuatannya.
Memancing musuh atau lebih tepatnya menjerat perhatian musuh agar menyerangnya. Ia memakan semua hawa keberadaan teman-temannya, mengambilnya untuk dirinya seorang. Bahkan musuh yang sejak tadi telah menargetkan Zafth, langsung mengubah keputusannya.
Dan di sinilah Zafth, sebagai pembersih. Di saat musuh-musuh sedang sibuk menggempur Chanara, ia membasmi mereka dari belakang.
Di kedua tangannya telah tergenggam tali mengilat berwarna merah. Tidak, lebih tepatnya darah yang membentuk tali.
Darah itu keluar langsung dari pergelangan tangannya yang sebelumnya sengaja ia lukai. Sel-sel darahnya memadat, saling mengikat dan membentuk satu kesatuan sempurna menjadi cambuk. Persis seperti keadaan darah manusia ketika terkena bisa ular.
Sekali cambuk mampu memisahkan kepala seseorang dari badannya. Karena begitu cepat, mereka sampai tidak mampu menyadari mimpi buruk apa yang berlayar dari arah belakang mereka.
Tanpa keduanya sadari, seorang musuh ternyata berpura-pura terkena serangan dan mencoba menikam Chanara dari belakang.
Musuh itu berusaha menjulang dengan kedua kakinya dan mengeluarkan belati yang terlilit di ikat pinggangnya. Tanpa menunggu lama, dia melesat maju.
Namun sebelum ujung belati itu tenggelam tepat di leher belakang Chanara, peluru telah lebih dulu bersarang di kepalanya. Tangannya bahkan masih mengambang di udara, belum sempat mencapai tujuannya.
Dia runtuh dengan tangan menggenggam belati. Tubuhnya mungkin mengeluarkan bunyi ketika bertemu kerasnya tanah, tapi tidak dengan kepalanya yang langsung menjadi abu.
"Bagus," gumam Chanara sembari menebas tubuh musuh di hadapannya.
Tubuh itu terpotong di dada. Bagian atasnya terbang dan menubruk kawannya sehingga mengundang jeritan yang mengerikan.
Mata Chanara yang berwarna ungu tua, berubah sedikit kemerahan karena pantulan darah yang muncrat ke wajahnya yang tak berwarna.
Alasan mengapa tidak ada yang mencium keberadaan Mia dan Zeze di atas tebing adalah karena Chanara.
Kerja tim yang sangat terkoordinasi.
Chanara sebagai defender yang melindungi temannya, sementara Zafth sebagai attacker yang menyerang saat perhatian musuh teralih, dan Mia sebagai attacker yang menyerang jarak jauh sebagai pendukung mereka berdua. Mereka berempat seperti melakukan party dalam game virtual yang belakangan sedang populer di tahun 2135 Masehi ini.
Dalam sekejap, tanah pijakan Chanara dan Zafth telah digenangi air merah berbau anyir. Sulit dipercaya pertarungan yang berat sebelah itu hanya berlangsung selama satu setengah menit.
"Akhirnya selesai." Bahu Chanara merosot.
"Padahal kau tidak mengeluarkan keringat, kenapa terdengar lelah sekali?" Zafth menatap heran.
"Ayo kita menuju sasaran utama dan cepat-cepat menyelesaikannya. Pasti setelah ini Zeze akan mentraktir kita makan." Chanara melenggang santai bak model menuju gerbang besar mansion di hadapannya.
"Kuharap Obi ada di sini." Zafth bergumam sembari mengekor Chanara dari belakang.
Di waktu yang sama, Zeze berdiri seraya menepuk-nepuk pakaiannya yang terkena tanah.
Mia mendongak, "kita kembali sekarang?"
Zeze tidak menjawab. Niatnya ingin langsung berlalu, namun sesuatu mendorong mereka berdua hingga terpisah cukup jauh.
Untungnya Zeze selalu waspada. Serangan tiba-tiba tadi hanya menghantam lengan yang ia gunakan untuk melindungi tubuhnya. Ia hanya terdorong beberapa meter, sementara Mia, dia terpental cukup jauh. Mia berhenti setelah punggungnya menabrak pohon yang membuatnya memuntahkan sedikit darah. Senapannya terlempar jauh darinya dan berhenti dengan cara yang sama seperti pemiliknya.
Menyaksikan hal itu, Zeze mengerutkan kening. Jaraknya dan Mia tidak terlalu jauh tapi juga tidak dekat. Jika ia menghampiri Mia saat ini juga, itu akan melemahkan penjagaannya, karena ia sendiri pun tidak tahu kapan serangan berikutnya akan dilancarkan.
Zeze diam sejenak untuk merenung, 'aku hanya melihatnya sekilas. Bayangan itu menendangku dan Mia lalu menghilang. Hanya ada dua kemungkinan, dia bersembunyi di balik pohon atau pergi ke atasnya.'
Sambil memasang topengnya, Zeze memajang senyum. Tapi senyuman itu tidak menyentuh matanya. Matanya yang biru bagai langit dan berkilau indah bagai permata, memancarkan sorot yang menakutkan.
Aura mencekam yang sanggup membuat bulu roma siapa saja berdiri, mulai keluar dari tubuhnya. Bagaikan asap dan berwarna merah keunguan. Hawanya sanggup membuat siapa pun yang ada di dekatnya merasakan panas-dingin teror yang tidak berujung.
Perlahan-lahan, aura itu mulai turun ke bawah kakinya, merambat ke tanah, merasakan getaran-getaran, lalu mengirimkan sinyalnya kepada pemiliknya.
Getaran paling dominan tertangkap di pohon sebelah kirinya. Senyum Zeze menghilang. Dengan gerakan seringkas kedipan mata, ia melompat ke atas pohon di dekatnya.
Dan di sinilah kakinya berpijak. Tanpa terhalang apa pun, matanya dapat dengan jelas menyorot pepohonan lebat di bawahnya, serta sang dewi malam yang menggantung di atasnya. Tak ada bintang-bintang kali ini, awan mendung menyembunyikan benda langit itu dengan sangat baik.
Tidak lupa juga pemandangan agak jauh di depannya, sesosok pria berjubah dengan katana yang menghiasi pinggangnya.
Sosok itu menjulang dengan percaya diri, menantang gadis muda di hadapannya itu untuk berlomba menuju kematian.
"Énkavma ya?" Sosok itu memulai. "Dasar kutu busuk! Mengganggu ketenteraman kota ini."
Kata-katanya begitu lucu sehingga membuat Zeze tertawa renyah. "Bukankah kalian yang mengganggu ketenteraman kota kalian sendiri? Apakah para kantung sampah itu belum puas memakan hak-hak orang lain?"
"Jangan sombong dulu kau sialan! Jangan berkata layaknya kau mengerti jika kau masih melakukan hal keji seperti ini."
"Kami hanya membersihkan sampah. Apakah kalian tahu? Daripada mengubur sampah, kami lebih suka membakarnya." Setelah menyelesaikan kalimatnya, Zeze bergerak dan dalam sekejap telah tertoreh di belakang sang sosok berjubah.
Zeze menendang tengkuknya di udara hingga membuatnya terdorong ke depan.
Walau sempat terkejut, sosok berjubah itu langsung mengendalikan dirinya. Dia berbalik sekaligus mencabut katana-nya. Namun yang dia lakukan hanyalah membelah udara.
Ketika kembali berbalik, sosok itu membeku, terkejut saat melihat sesuatu yang terpatri di belakang punggung Zeze.
Sepasang sayap terlihat menyembul di balik punggungnya. Tapi yang membuatnya terkejut bukan hanya itu, ini bukanlah sayap, ini adalah api yang membentuk sayap!
Sayap api itu berkobar di belakang punggungnya dengan indah. Berwarna merah dengan ujung keunguan. Memancarkan cahaya yang sama terangnya dengan cahaya rembulan.
'Dia benar-benar terlihat seperti malaikat.'
Tak dapat dipungkiri, bahkan angin yang berembus di sekitar mereka pun menjadi panas.
Dan di detik itu juga, dia merasakan alarm bahaya. Matanya memicing, 'dilihat dari ciri-ciri kekuatannya, dia adalah...' "Artemis, benar kan?"
Tanpa menorehkan jawaban, Zeze tersenyum dingin di balik topengnya.
Sosok itu terkekeh sinis, "benar rupanya. Aku adalah Joe."
"Akan aku ingat namamu sampai kau mati." Zeze langsung lenyap dari pandangan Joe.
Terbang ke atas, sayapnya langsung menutup seakan tengah memeluknya. Kemudian, terbuka kembali seraya memuntahkan ratusan kobaran api yang siap menghujani apa pun di bawahnya.
Joe yang memang adalah individu terlatih, dapat menghindari hujan api tersebut dengan lihai. Api yang berhasil dihindarinya mendarat ke arah pepohonan dan membakarnya.
Tapi itu bukanlah serangan sebenarnya. Itu semua hanyalah pengalih.
Di saat Joe tengah sibuk menghindari apinya, Zeze terbang tepat ke atas Joe dan memadamkan sayapnya sehingga ia mendarat tepat di atas pundak laki-laki itu.
Sementara kedua kakinya bertengger nyaman di atas pundak Joe, kedua tangannya memutar kepala Joe ke kanan dan kiri. Suara tulang dan urat yang patah dapat dengan nyata didengar olehnya.
Joe pun roboh, tersangkut di dahan pohon dengan matanya yang membuka. Lehernya benar-benar berputar 180 derajat, sehingga arah kepala dan badannya tidak sinkron. Di saat yang sama, Zeze pergi menjauh darinya.
Api yang masih menghujani pun berlabuh di tubuh Joe dan membakarnya bagai daun yang dimakan ulat, sebelum kemudian padam tanpa jejak.
Pertarungan tersebut bahkan tidak lebih dari satu menit.
Zeze turun dari pohon dan mendarat dengan anggun, bersamaan dengan getaran yang datang dari ponselnya. Ia mengambil ponsel itu dari kantung celana jeans-nya dan melihat sebuah panggilan suara dari kontak bernama Kaleahni. Tanpa menunggu lama, ia pun mengangkatnya.
"Ze, jika sudah selesai, cepat ke sini. Aku sedang kesulitan. Orang itu, Antoni Barier, benar-benar ada di sini." Panggilan langsung terputus bahkan sebelum Zeze menjawab.
Menurunkan ponselnya, Zeze memandang Mia dari kejauhan dengan bimbang. "Maaf, Mia," ia mendesah. "Sepertinya Kak Leah sangat membutuhkanku dibanding kau." Setelah mengucapkannya, ia berlalu, tanpa menyadari bahwa ini adalah 'awal' dari segalanya.
Ia tahu pasti maksud dari pertanyaan itu, karena itulah ia langsung menjawab. "Alasan? Aku hanya ingin memperbaiki dunia yang berantakan ini."
"Begitu ya?" Laki-laki di hadapannya tersenyum damai dengan kelopak yang membungkus mata kelamnya, "terang sekali. Saking terangnya, aku sampai harus berpaling." Dia membuka matanya, "jadi itukah keputusanmu?"
"Ya, aku akan melakukannya dengan caraku. Kau pasti juga akan begitu kan?"
Sesaat hening menghiasi suasana di antara dua orang ini. Hanya ada suara angin sebagai musik latar. Namun pasti, mereka meratapi takdir yang melingkari mereka.
"Baiklah, kita akan mengambil jalan masing-masing." Sorot matanya mengeras, "aku akan melepaskanmu kali ini. Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan membunuhmu."
"Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan menyelamatkanmu."
=======================
VOLUME 1
Goddess Of The Hunt
"Dewi Perburuan"
=======================
Pada abad ke-22, Aplistia, negara pecahan Yunani itu bukan lagi negara yang berbentuk kerajaan. Kini negara adidaya tersebut dipimpin oleh dewan berisikan para bangsawan yang menyebut diri mereka sebagai wakil dari rakyat. Hal ini terjadi karena raja terakhir dari Aplistia memutuskan untuk membubarkan sistem kerajaan ini. Anggota kerajaan asli tentunya masih ada dan dihormati serta disegani oleh penduduknya.
Perubahan adalah hal yang tidak mungkin dihindari di dunia ini.
Nah, sekarang mari kita bagi dunia menjadi dua bagian.
Bagian kanan adalah dunia dimana terdapat kupu-kupu yang tidak dapat mengepakkan sayapnya.
Sementara bagian kiri adalah para kantung sampah yang memiliki segalanya.
Pernahkah kalian berpikir tentang keberadaan orang-orang yang telah lelah dengan dunia yang berantakan ini?
Atau mungkin itu kalian sendiri?
Lalu, apa tanggapan kalian tentang api?
Pasti tidak jauh dari sesuatu yang panas, merusak, merenggut.
Tapi berbeda dengan orang-orang ini.
Bagi mereka api adalah cahaya, simbol, dan kehangatan.
Apakah kalian percaya dengan manusia yang memiliki kekuatan?
Tidak mungkin ada? Tentu saja mungkin.
Setiap makhluk hidup menyimpan sebuah energi kehidupan yang dinamakan aura. Jika diasah dengan benar, energi tersebut dapat digunakan menjadi sesuatu yang berguna.
Semua yang memiliki kehidupan dapat membangun potensi luar biasa itu. Hanya dengan sebuah sentuhan ajaib yang dinamakan usaha, segala sesuatunya mengandung kemungkinan, bahkan jika itu hal terkonyol sekalipun.
Di sebuah ruangan mansion bergaya klasik dengan sentuhan kontemporer, seorang pria paruh baya menggebrak meja ketika berbicara dengan wajah keras kepada seseorang lewat telepon tanpa kabel.
"Aku tidak peduli! Cepat habisi para brengsek itu!"
Ia menutup teleponnya dengan kasar lalu mendarat pada brangkas besar di belakangnya. Ia menekan-nekan tombolnya. Gerakannya yang terburu-buru melahirkan nada yang sumbang di setiap tekanan telunjuknya. Lalu ia mengeluarkan isi yang ada di dalamnya—tumpukan kertas berbentuk persegi panjang—uang yang sangat banyak.
"Setidaknya aku harus membawa ini. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Yang di luar biar mereka yang urus!"
Sementara itu, di atas tebing yang menjulang tinggi tak jauh dari rumah besar tersebut, empat orang berdiri bagai burung hering yang sedang mengharap mangsa. Kehadiran mereka begitu kuat hingga menenggelamkan kegelapan sekitar.
"Zeze, berapa banyak?" Tanya seorang lelaki berhoodie. Rambutnya berwarna abu-abu, berantakan namun lembut bagai kapas.
"Hmm... 50 mungkin." Perempuan yang dipanggil Zeze itu menjawab. Ia menjulang paling depan. Tatapannya menerawang lurus, mengawasi bagai singa. Cahaya sang dewi malam cukup untuk memperjelas sosoknya.
Perempuan berumur sekitar 16 tahun dengan kulit seputih salju. Matanya berwarna biru langit dan berkilau indah. Rambutnya yang berwarna pirang platinum dibiarkan mengalir sampai ke pinggang dan memercikkan kilauan terang atas pantulan sinar rembulan.
Sebuah sosok yang sangat pantas untuk mewakili sebutan kecantikan kelas dunia.
"Heh, 50?" Zeze mendengar seseorang di samping kanannya mencemooh dengan suara yang terkesan meremehkan. Bunyinya bagaikan seorang anak kecil yang sedang mengunyah permen karet.
"Idiot," gumam Zeze tanpa melepaskan pandangannya dari depan.
Orang yang mendengar cemoohan Zeze tadi wajahnya langsung memerah.
"A... apa yang kau katakan! Itukan jumlah yang sedikit! Jadi wajar aku bilang begitu! Jika aku tembaki mereka sekarang, mereka pasti sudah akan mati!" Ocehnya.
Zeze meliriknya di sudut mata. Orang itu—seorang perempuan dengan rambut Ikal yang dikuncir dan dicat berwarna rosegold—selalu saja mengganggu konsentrasinya.
Tidak ingin ambil pusing, Zeze tetap memfokuskan mata beriris birunya ke depan
"Sepertinya Seeker kita sedikit lambat kali ini," ledek lelaki berambut abu-abu tadi. Zeze dapat merasakan suaranya memajang seringai jahil.
"Zafth, maju." Zeze merespons lelaki berambut abu-abu tersebut.
"Oh, langsung?" Seseorang di belakang Zafth bertanya. Suara feminimnya melengking dan menyiratkan keceriaan. Ia memiliki rambut panjang yang dicat ungu kemerahan yang berkibar disapu angin malam.
"Ya, aku sudah selesai mengamati." Zeze berbalik, menghadap perempuan berambut ungu panjang tersebut, "dan Chanara..."
"Apa?" Sahutnya, memiringkan kepala.
"Kau maju ke depan seperti biasa tapi jangan jauh-jauh dari Zafth."
"Aye!" Jawab Chanara. Meskipun nadanya terdengar ceria, tak ada perubahan berarti dari wajah pucatnya.
Dan di sinilah mereka berempat berada. Bersiap merampas takdir kurang lebih 50 orang yang sudah siap dengan senjata dan seragam kebanggaan mereka. Mengucap pamit kepada keluarga dan sanak saudara, susah payah datang hanya untuk mati.
Zeze tersenyum, memamerkan senyum cantiknya bak malaikat. Ya, malaikat maut.
"Aku tidak perlu turun tebing kan?" Suara itu lagi, suara bagai pengunyah permen karet.
Zeze menoleh dan meliput penampilannya. Gadis itu memiliki tato di leher sebelah kanan, dekat tulang selangka bertuliskan MIA, yang adalah namanya.
Zeze mengangkat bahu, "jika kau ingin mati, silakan."
Mia yang mendengarnya langsung bersungut kesal. "Awas kau ya! Aku ini lebih tua darimu. Setidaknya hormati aku sedikit saja!"
"Aku lebih tinggi darimu." Zeze membalas santai.
"Zeze!" Kini Mia menggeram, intonasinya melejit naik satu oktaf. Emosinya tambah membengkak ketika melihat Zeze terkekeh geli.
Tidak ingin membiarkan kejengkelan ini merajainya terus sampai melupakan tugas yang harus dilakukannya, akhirnya Mia mulai mendesak beberapa peluru ke dalam senapan berwarna hitam legam miliknya.
Berlutut dengan satu kaki, Mia membawa senapan itu tepat ke depan wajahnya, bersiap untuk membidik. Gerakannya begitu anggun dan natural. Seakan-akan hal ini telah menjadi makanan sehari-harinya.
Irama napasnya yang tenang terdengar sangat beraturan. Bahkan Zeze yang kini ikut bersila di sisi kanannya, tidak sanggup sedetik pun membungkus matanya. Ia tidak mampu berpaling dari konsentrasi luar biasa sosok mengagumkan di sampingnya ini.
Tak dapat dipungkiri, angin di sekeliling mereka seakan berhenti berembus. Begitu Mia menahan napasnya, waktu benar-benar terasa berhenti. Meski ini adalah ke sekian kalinya Zeze meliput Mia membidik mangsanya, ia tetap tidak bisa berkata apa-apa. Matanya mengukir berjuta bukti rasa hormat dan kekaguman.
Mia mulai menarik pelatuknya dua kali, dan keduanya tepat mengenai sasaran. Jika orang biasa pasti akan berpikir ia hanya membidik di satu tempat. Tapi Zeze dapat mengetahui pasti bahwa sepersekian detik sebelum Mia melepaskan tembakan yang kedua, ia sedikit menggeser posisi senapannya ke kiri.
Peluru-peluru itu melesat bagai cahaya dan mendarat tepat di tengah-tengah kepala mangsanya. Kepala itu pecah seketika dan ada juga yang terbakar terlebih dahulu, tergantung dari jenis peluru yang digunakan Mia.
Mia memulai lagi aksinya. Kini targetnya adalah seorang prajurit yang bersiap menusuk Chanara dari belakang dengan belati.
Dengan senyum kejinya, Mia menahan napas. Perlahan, telunjuknya menarik pelatuk hingga membawanya melesat dan meluruhkan kepala targetnya.
Tidak perlu diragukan lagi, ini adalah attacker jarak jauh terbaik Énkavma.
Sementara Zeze dan Mia hinggap di bibir tebing, memantau serta mengincar musuh dari jarak jauh, di waktu yang sama, Chanara dan Zafth menyerang dari jarak dekat.
Dengan kapak besar yang beratnya mungkin setara dengan truk, begitu lihainya Chanara mengayunkannya dengan satu tangan.
Setiap ayunannya melahirkan suara tengkorak yang hancur tertebas. Gerakannya seperti menari, tarian kematian, yang bahkan sanggup membuat iri balerina mana pun.
Begitu banyaknya prajurit yang mengerubungi mereka, menunggu giliran kematian menyambut. Tapi setidaknya mereka sudah berusaha, mati membawa kebanggaan sebagai pahlawan yang berkorban.
Mungkin itulah yang selama ini mereka yakini. Mati untuk sampah.
Chanara yang paling banyak dikerubungi oleh prajurit dibanding Zafth. Bukan karena dia adalah perempuan dan lebih mudah untuk diurus. Mungkin itu benar, tapi ada alasan lainnya. Karena memang itulah kekuatannya.
Memancing musuh atau lebih tepatnya menjerat perhatian musuh agar menyerangnya. Ia memakan semua hawa keberadaan teman-temannya, mengambilnya untuk dirinya seorang. Bahkan musuh yang sejak tadi telah menargetkan Zafth, langsung mengubah keputusannya.
Dan di sinilah Zafth, sebagai pembersih. Di saat musuh-musuh sedang sibuk menggempur Chanara, ia membasmi mereka dari belakang.
Di kedua tangannya telah tergenggam tali mengilat berwarna merah. Tidak, lebih tepatnya darah yang membentuk tali.
Darah itu keluar langsung dari pergelangan tangannya yang sebelumnya sengaja ia lukai. Sel-sel darahnya memadat, saling mengikat dan membentuk satu kesatuan sempurna menjadi cambuk. Persis seperti keadaan darah manusia ketika terkena bisa ular.
Sekali cambuk mampu memisahkan kepala seseorang dari badannya. Karena begitu cepat, mereka sampai tidak mampu menyadari mimpi buruk apa yang berlayar dari arah belakang mereka.
Tanpa keduanya sadari, seorang musuh ternyata berpura-pura terkena serangan dan mencoba menikam Chanara dari belakang.
Musuh itu berusaha menjulang dengan kedua kakinya dan mengeluarkan belati yang terlilit di ikat pinggangnya. Tanpa menunggu lama, dia melesat maju.
Namun sebelum ujung belati itu tenggelam tepat di leher belakang Chanara, peluru telah lebih dulu bersarang di kepalanya. Tangannya bahkan masih mengambang di udara, belum sempat mencapai tujuannya.
Dia runtuh dengan tangan menggenggam belati. Tubuhnya mungkin mengeluarkan bunyi ketika bertemu kerasnya tanah, tapi tidak dengan kepalanya yang langsung menjadi abu.
"Bagus," gumam Chanara sembari menebas tubuh musuh di hadapannya.
Tubuh itu terpotong di dada. Bagian atasnya terbang dan menubruk kawannya sehingga mengundang jeritan yang mengerikan.
Mata Chanara yang berwarna ungu tua, berubah sedikit kemerahan karena pantulan darah yang muncrat ke wajahnya yang tak berwarna.
Alasan mengapa tidak ada yang mencium keberadaan Mia dan Zeze di atas tebing adalah karena Chanara.
Kerja tim yang sangat terkoordinasi.
Chanara sebagai defender yang melindungi temannya, sementara Zafth sebagai attacker yang menyerang saat perhatian musuh teralih, dan Mia sebagai attacker yang menyerang jarak jauh sebagai pendukung mereka berdua. Mereka berempat seperti melakukan party dalam game virtual yang belakangan sedang populer di tahun 2135 Masehi ini.
Dalam sekejap, tanah pijakan Chanara dan Zafth telah digenangi air merah berbau anyir. Sulit dipercaya pertarungan yang berat sebelah itu hanya berlangsung selama satu setengah menit.
"Akhirnya selesai." Bahu Chanara merosot.
"Padahal kau tidak mengeluarkan keringat, kenapa terdengar lelah sekali?" Zafth menatap heran.
"Ayo kita menuju sasaran utama dan cepat-cepat menyelesaikannya. Pasti setelah ini Zeze akan mentraktir kita makan." Chanara melenggang santai bak model menuju gerbang besar mansion di hadapannya.
"Kuharap Obi ada di sini." Zafth bergumam sembari mengekor Chanara dari belakang.
Di waktu yang sama, Zeze berdiri seraya menepuk-nepuk pakaiannya yang terkena tanah.
Mia mendongak, "kita kembali sekarang?"
Zeze tidak menjawab. Niatnya ingin langsung berlalu, namun sesuatu mendorong mereka berdua hingga terpisah cukup jauh.
Untungnya Zeze selalu waspada. Serangan tiba-tiba tadi hanya menghantam lengan yang ia gunakan untuk melindungi tubuhnya. Ia hanya terdorong beberapa meter, sementara Mia, dia terpental cukup jauh. Mia berhenti setelah punggungnya menabrak pohon yang membuatnya memuntahkan sedikit darah. Senapannya terlempar jauh darinya dan berhenti dengan cara yang sama seperti pemiliknya.
Menyaksikan hal itu, Zeze mengerutkan kening. Jaraknya dan Mia tidak terlalu jauh tapi juga tidak dekat. Jika ia menghampiri Mia saat ini juga, itu akan melemahkan penjagaannya, karena ia sendiri pun tidak tahu kapan serangan berikutnya akan dilancarkan.
Zeze diam sejenak untuk merenung, 'aku hanya melihatnya sekilas. Bayangan itu menendangku dan Mia lalu menghilang. Hanya ada dua kemungkinan, dia bersembunyi di balik pohon atau pergi ke atasnya.'
Sambil memasang topengnya, Zeze memajang senyum. Tapi senyuman itu tidak menyentuh matanya. Matanya yang biru bagai langit dan berkilau indah bagai permata, memancarkan sorot yang menakutkan.
Aura mencekam yang sanggup membuat bulu roma siapa saja berdiri, mulai keluar dari tubuhnya. Bagaikan asap dan berwarna merah keunguan. Hawanya sanggup membuat siapa pun yang ada di dekatnya merasakan panas-dingin teror yang tidak berujung.
Perlahan-lahan, aura itu mulai turun ke bawah kakinya, merambat ke tanah, merasakan getaran-getaran, lalu mengirimkan sinyalnya kepada pemiliknya.
Getaran paling dominan tertangkap di pohon sebelah kirinya. Senyum Zeze menghilang. Dengan gerakan seringkas kedipan mata, ia melompat ke atas pohon di dekatnya.
Dan di sinilah kakinya berpijak. Tanpa terhalang apa pun, matanya dapat dengan jelas menyorot pepohonan lebat di bawahnya, serta sang dewi malam yang menggantung di atasnya. Tak ada bintang-bintang kali ini, awan mendung menyembunyikan benda langit itu dengan sangat baik.
Tidak lupa juga pemandangan agak jauh di depannya, sesosok pria berjubah dengan katana yang menghiasi pinggangnya.
Sosok itu menjulang dengan percaya diri, menantang gadis muda di hadapannya itu untuk berlomba menuju kematian.
"Énkavma ya?" Sosok itu memulai. "Dasar kutu busuk! Mengganggu ketenteraman kota ini."
Kata-katanya begitu lucu sehingga membuat Zeze tertawa renyah. "Bukankah kalian yang mengganggu ketenteraman kota kalian sendiri? Apakah para kantung sampah itu belum puas memakan hak-hak orang lain?"
"Jangan sombong dulu kau sialan! Jangan berkata layaknya kau mengerti jika kau masih melakukan hal keji seperti ini."
"Kami hanya membersihkan sampah. Apakah kalian tahu? Daripada mengubur sampah, kami lebih suka membakarnya." Setelah menyelesaikan kalimatnya, Zeze bergerak dan dalam sekejap telah tertoreh di belakang sang sosok berjubah.
Zeze menendang tengkuknya di udara hingga membuatnya terdorong ke depan.
Walau sempat terkejut, sosok berjubah itu langsung mengendalikan dirinya. Dia berbalik sekaligus mencabut katana-nya. Namun yang dia lakukan hanyalah membelah udara.
Ketika kembali berbalik, sosok itu membeku, terkejut saat melihat sesuatu yang terpatri di belakang punggung Zeze.
Sepasang sayap terlihat menyembul di balik punggungnya. Tapi yang membuatnya terkejut bukan hanya itu, ini bukanlah sayap, ini adalah api yang membentuk sayap!
Sayap api itu berkobar di belakang punggungnya dengan indah. Berwarna merah dengan ujung keunguan. Memancarkan cahaya yang sama terangnya dengan cahaya rembulan.
'Dia benar-benar terlihat seperti malaikat.'
Tak dapat dipungkiri, bahkan angin yang berembus di sekitar mereka pun menjadi panas.
Dan di detik itu juga, dia merasakan alarm bahaya. Matanya memicing, 'dilihat dari ciri-ciri kekuatannya, dia adalah...' "Artemis, benar kan?"
Tanpa menorehkan jawaban, Zeze tersenyum dingin di balik topengnya.
Sosok itu terkekeh sinis, "benar rupanya. Aku adalah Joe."
"Akan aku ingat namamu sampai kau mati." Zeze langsung lenyap dari pandangan Joe.
Terbang ke atas, sayapnya langsung menutup seakan tengah memeluknya. Kemudian, terbuka kembali seraya memuntahkan ratusan kobaran api yang siap menghujani apa pun di bawahnya.
Joe yang memang adalah individu terlatih, dapat menghindari hujan api tersebut dengan lihai. Api yang berhasil dihindarinya mendarat ke arah pepohonan dan membakarnya.
Tapi itu bukanlah serangan sebenarnya. Itu semua hanyalah pengalih.
Di saat Joe tengah sibuk menghindari apinya, Zeze terbang tepat ke atas Joe dan memadamkan sayapnya sehingga ia mendarat tepat di atas pundak laki-laki itu.
Sementara kedua kakinya bertengger nyaman di atas pundak Joe, kedua tangannya memutar kepala Joe ke kanan dan kiri. Suara tulang dan urat yang patah dapat dengan nyata didengar olehnya.
Joe pun roboh, tersangkut di dahan pohon dengan matanya yang membuka. Lehernya benar-benar berputar 180 derajat, sehingga arah kepala dan badannya tidak sinkron. Di saat yang sama, Zeze pergi menjauh darinya.
Api yang masih menghujani pun berlabuh di tubuh Joe dan membakarnya bagai daun yang dimakan ulat, sebelum kemudian padam tanpa jejak.
Pertarungan tersebut bahkan tidak lebih dari satu menit.
Zeze turun dari pohon dan mendarat dengan anggun, bersamaan dengan getaran yang datang dari ponselnya. Ia mengambil ponsel itu dari kantung celana jeans-nya dan melihat sebuah panggilan suara dari kontak bernama Kaleahni. Tanpa menunggu lama, ia pun mengangkatnya.
"Ze, jika sudah selesai, cepat ke sini. Aku sedang kesulitan. Orang itu, Antoni Barier, benar-benar ada di sini." Panggilan langsung terputus bahkan sebelum Zeze menjawab.
Menurunkan ponselnya, Zeze memandang Mia dari kejauhan dengan bimbang. "Maaf, Mia," ia mendesah. "Sepertinya Kak Leah sangat membutuhkanku dibanding kau." Setelah mengucapkannya, ia berlalu, tanpa menyadari bahwa ini adalah 'awal' dari segalanya.